12

498 70 30
                                    

Umin’s pov

“Benar dia hanya senior kamu?” tanyaku begitu aku dan Fian masuk ke kamar. Fian berbalik dan menghela napas panjang.

“Benar Kakak, hanya senior yang ramah dengan juniornya. Tidak lebih.” katanya dengan wajah lelah. Sebenarnya aku tidak tega menanyainya pertanyaan seperti ini, tapi aku tidak bisa menahannya. “Kakak tidak percaya denganku?” aku terkejut melihat wajah marahnya.

“Percaya. Kakak percaya. Maaf. Maaf.” Aku memegang wajahnya, kedua jempolku mengelus lembut pipinya. Fian memejamkan matanya dan menghela napas panjang.

“Maaf kak, aku lelah.” Ia membuka matanya dan menatapku sendu.

“Tidak apa, sekarang mandi ya. Lalu makan malam bersama.” Aku mengecup keningnya, Fian mengangguk. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil pakaiannya di dalam lemari.

Aku berjalan keluar kamar menuju dapur, aku ingin ikut menyiapkan makan malam untuk istriku. “Fian pasti lelah, kan Mas?” aku menatap Umi yang duduk di meja makan.

“Ya, Umi.”

“Apa setiap hari dia akan seperti itu? Berangkat pagi dan pulang sore?”

“Sepertinya begitu, Mi.”

“Apa bekerja di stasiun TV sangat sibuk?” aku menatap Ania yang menatapku.

“Hmm, pikirkan lagi keinginanmu bekerja disana.” Ania mencebik, ia berbalik dan bergabung dengan Dewi dan Zaza.

“Ania ingin bekerja di stasiun TV juga?” bisik Umi. Aku mengangguk membuat beliau menghela napas panjang. “Kedua anak perempuanku akan sibuk, semua tidak seperti yang Umi bayangkan selama ini.”

Sungguh. Aku tidak tega melihat wajah sedih Umi. Aku duduk di depannya dan menggenggam tangannya, “Masih ada weekend, Umi. Jangan sedih.”

“Iya sih, Mas benar.” Aku tersenyum melihat kedua mata Umi yang berbinar.

“Mas, maaf ya. Di awal pernikahan kalian Umi memaksa kalian segera memberi Umi cucu, padahal kalian belum siap. Harusnya Umi menjadi yang dewasa dan memahami menantu Umi dengan baik. Umi hanya terlalu berambisi untuk memamerkan cucu pada teman-teman Umi.”

“Tidak perlu minta maaf, Umi. Setiap orang pasti menginginkan hal yang sama. Mas dan Mbak yang seharusnya meminta maaf, karena belum bisa memenuhi keinginan Umi.” Umi tersenyum dan mengulurkan tangannya mengelus rambutku.

“Tidak, Mas. Jangan meminta maaf.” Aku memegang tangan Umi dan menciumnya.

“Yah, sudah semuanya ya?” aku dan Umi menatap Fian yang masuk dapur dengan pandangan tertuju pada Dewi dan Zaza yang menata meja makan.

“Semuanya sudah siap, Mbak.” kata Dewi pada Fian yang dijawab anggukan, ia tampak kecewa.

“Umi, maaf tidak bisa membantu menyiapkan makan malam.”

Umi tersenyum, “Tidak apa-apa, Mbak. Sini dengarkan Umi.” Fian memandangku sekilas, lalu berjalan mendekati Umi dan duduk di sebelah kanannya. “Mulai sekarang, Mbak tidak apa-apa tidak ikut membantu menyiapkan makan. Mbak sudah lelah dengan pekerjaan di kantor. Tidak apa-apa.” Fian tersenyum dan mengangguk.

Interaksi Umi dan Fian membuat hatiku menghangat. Tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini selain melihat ibumu dan istrimu akur. Untuk ini, aku sangat bersyukur pada Allah SWT.

“Mbak, memang benar ya bekerja di stasiun TV sangat sibuk?” Ania duduk di sebelah Fian. Tebak apa yang terjadi?

Ya, mereka bertiga sibuk mengobrol bersama.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang