Fian’s pov
Aku menatap Papa yang sedang memeriksa Kak Umin di kamar. Disini hanya ada aku, Kak Umin, dan Papa. Abi, Umi, dan Ania menunggu di ruang keluarga dengan perasaan cemas. Siapa yang tidak cemas jika tiba-tiba Kak Umin muntah-muntah setelah makan sesuap?
Setelah Kak Umin muntah-muntah di kamar mandi aku segera menelepon Papa. Beruntung, Papa belum berangkat ke rumah sakit.
Pandanganku teralih pada Kak Umin yang memegangi keningnya dengan mata terpejam. Seumur-umur aku tidak pernah melihat Kak Umin seperti ini. “Bagaimana, Pa? Kak Umin kenapa?” tanyaku begitu Papa selesai memeriksa.
“Semuanya baik-baik saja. Tekanan darahnya juga normal.”
Apa?
“Tapi bagaimana bisa? Mungkin asam lambung atau-”
“Tidak, Dek. Lambungnya normal.” Aku menatap Papa dengan kening berkerut.
Sepanjang pagi Kak Umin tidak makan apapun selain ikan bakar buatanku, apa mungkin karena itu? Apa ikan bakar buatanku tidak enak? Tapi kata Umi, Abi, dan Ania rasanya enak. Apa mereka hanya menghiburku saja?
“Keracunan?”
“Tidak, Dek. Semuanya baik-baik saja.”
“Lalu Kak Umin kenapa?” Papa mendorongku menjauh dan menatapku lekat-lekat.
“Apa yang Mas makan pagi ini?”
“Ikan bakar buatan Adek.” Aku menghela napas dan menunduk. Papa mengelus kepalaku yang tertutup jilbab, pandangannya berubah sendu. “Papa yakin Kak Umin tidak keracunan? Siapa tahu ternyata Kak Umin keracunan makanan yang ku buat.”
“Tidak, Adek. Tidak ada tanda-tanda keracunan. Adek tahu apa yang Papa pikirkan?” Aku menggeleng, memang aku tak paham. “Menurut Papa, Mas Umin mengalami morning sickness.”
Mataku membulat sempurna mendengarnya. Jika benar Kak Umin mengalami morning sickness artinya aku-
“Adek paham kan maksud Papa?” Aku mengangguk membuat Papa tersenyum lebar. “Segera hubungi dokter Hasna, atau perlu Papa yang menghubunginya?”
“Tidak, Pa. Biar Adek saja.” Papa memelukku sangat erat.
“Papa akan resepkan vitamin saja.” Papa mengeluarkan kertas dan menuliskan sesuatu yang tidak kuu mengerti sama sekali. “Tebus di apotek terdekat karena bukan obat khusus.” aku mengangguk mengambil kertas di tangan Papa.
“Papa tunggu kabar selanjutnya.” Bisiknya membuat jantungku berdetak semakin cepat. Lihatlah kedua mata penuh harap itu, bagaimana jika apa yang dipikirkan Papa itu tidak terjadi?
Aku melangkah mengekori Papa yang keluar kamar dengan senyuman. Tampak Abi dan Umi memandang Papa masih dengan wajah khawatir. “Bagaimana keadaan Mas?” Abi berdiri dan mendekati Papa.
“Tidak ada masalah, Mas. Hanya terlalu lelah dengan pekerjaan.” aku melotot ke arah Papa yang mengerdipkan sebelah matanya. Apa Papa memintaku memainkan sebuah drama?
“Aku sudah menuliskan beberapa vitamin untuk Mas, Mbak akan menebusnya di apotek terdekat. Lebih baik hari ini istirahat saja dulu.”
“Alhamdulillah.” Abi dan Umi menghela napas lega.
Papa menatapku, “Papa pergi ke rumah sakit sekarang, jika ada apa-apa telepon Papa.” Aku mengangguk dan tersenyum. Papa mengusak kepalaku dan mencium puncak kepalaku.
“Terimakasih, Imran.” Abi melangkah menuju ruang tamu, menemani Papa keluar rumah.
“Umi buatkan wedang jahe untuk Mas. Biar Aning saja yang menebus resepnya, sekalian membeli jenang untuk Mas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Zalumin & Zafian Season 2
RomanceZalumin & Zafian Marriage Story Kulakukan apapun untuk membuatnya bahagia. -Adnan Basyar Zalumin- Sepertinya, ambisiku datang disaat yang tidak tepat. -Zafian Ruqayyah Imran- Manman tayang Mma, tayang Abi uga! Tayang teeemuanyaa. -Salman Furqo...