30

593 81 26
                                    

Umin’s pov
-

Ruang Kaprodi-


Aku memejamkan mataku dan memijat pangkal hidungku, berharap rasa pusing yang sejak tadi menjalar menghilang. Namun harapan itu tak menjadi kenyataan mengingat seseorang di hadapanku dengan wajah marahnya. Kenapa Ania bertengkar dengan teman sekelasnya?

Aku membuka mata dan menatap kedua orang di hadapanku, Ania balik menatapku tanpa rasa takut sama sekali. Berbeda dengan teman satu kelasnya yang menunduk dan tangannya bergetar hebat.

Apa sekarang dia takut denganku?Sejujurnya aku tidak sengaja berteriak sangat lantang seperti tadi. Aku yang sudah pusing luar biasa melihat kelasku ribut, siapa yang tidak emosi?

“Kalian mau menjelaskan apa yang terjadi?” tanyaku dengan nada yang ku buat selembut mungkin. “Kau tidak mau bercerita?” Ania melipat tangannya dan mengalihkan pandangannya.

“Tidak mau, biar dia saja. Dia yang memulai.”

“Siska?” seseorang di sebelah Ania berjingkat, ia memejamkan matanya. Tak ku sangka, dia menangis.

“Heh, orang ditanya itu dijawab! Bukan malah menangis! Dasar cengeng.”

“Ania.”

“Mas, Ania lelah mendengar dia dan teman-temannya selalu membicarakan Mas dan Mbak setiap saat.” Siska mendongak dan menatapku juga Ania berulang kali.

“Benar itu?”

“Tid.. Tidak.. itu-”

“Tidak usah berbohong kamu!” Ania mendorong bahu Siska yang langsung menunduk. “Tadi saja di kelas berteriak keras, sekarang mana teriakanmu? Malah melempem.”

“Dek.” Siska mendongak mentapku dengan matanya yang membulat sempurna. Ania bersandar di kursi dan mendengus. “Apa yang kau bicarakan tentang saya dan istri saya?”

“Dia bilang Mas dan Mbak lama tidak juga punya anak karena Mbak mandul.” Tidak hanya aku yang terkejut, tapi juga Siska. Tanganku meremat kuat.

“Hukum saja dia, Mas. Perempuan kok tidak bisa menjaga ucapan. Malu Mbak dengan jilbab panjangmu.”

“Keluar kamu.” Aku menatap Siska tajam.

“Pak, saya tidak bermaksud begitu. Maafkan saya, Pak.  Saya han-”

“Keluar!” Ania terkejut mendengar teriakanku, ia memukul Siska dan menyuruhnya keluar. Siska beranjak dari duduknya dan berlari keluar ruanganku.

“Mas, istighfar Mas.” Ania mengelus punggungku, aku memejamkan mata dan menghela napas berulang kali untuk melenyapkan amarahku.

“Astagfirullahaladzim. Astagfirullahaladzim.”

"Mas tidak menghukumnya?"

"Masih Mas pikirkan hukuman yang tepat untuknya. Sekarang Mas tidak bisa berpikir."

"Kalau begitu,  lebih baik Mas tidak usah mengajar saja. Diberi tugas saja seperti kelas kemarin.” Aku memandang Ania yang tersenyum lebar.

“Itu kan maunya kamu.”

“Kan biar adil, Mas. Lagipula sekarang Mas dalam keadaan marah, mana bisa mengajar profesional. Kata Mbak kalau Mas dalam keadaan marah lebih baik tidak usah mengajar saja.”

“Kau menghubungi Mbak?”

Ania mengangguk, ia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan padaku roomchatnya dengan istriku, “Laporan setiap menit.” Aku menghela napas panjang berulang kali.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang