32

775 88 33
                                    

Chapter ini menjadi chapter terakhir. Thank you semuanya udah mampir dan baca.  Thank you juga komen dan votenya.

Maaf jika adegan di chapter ini tidak sempurna,  karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

Sampai jumpa di karya Nisa selanjutnya.

With love, 
Nisa

Happy Reading 

🍓🍓🍓

Umin’s pov
21:00 WIB

Aku menatap istriku yang terbaring di ranjang rumah sakit. Matanya terpejam, tangan kanannya yang terbebas dari infus menggenggam tanganku erat. Beberapa menit sekali genggaman itu berubah menjadi cengkraman.

Sudah sejak kemarin kami ada disini setelah kontraksi yang dirasakannya semakin sering. Dalam ruangan hanya ada kami berdua, Abi dan Umi ada di ruang tunggu bersama Mama dan Papa. Jika ditanya bagaimana perasaanku sekarang, aku tidak tahu. Semuanya campur jadi satu. Sejak tadi aku berdo’a agar persalinan istriku lancar.

“Kak.” Fian membuka matanya.

“Ya sayang? Kenapa?”

“Bagaimana jika aku tidak kuat?”

“Kuat. Umma pasti kuat. Umma harus bersemangat, kita akan bertemu Mismis.” Fian tersenyum dan mengangguk.

“Kakak jangan pergi ya.”

“Abi selalu disini bersama Umma dan Mismis.” Fian mengangguk, matanya kembali terpejam dan tangannya mencengkeram kuat tanganku yang di genggamnya.

Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat membuat jantungku berdetak semakin cepat. Rasanya tidak tega melihat seseorang yang kau cintai kesakitan, apalagi tidak tahu bagaimana sakitnya. Hatiku semakin sakit saat melihat air mata menuruni pelipisnya.

Hal yang membuatku kesal adalah aku hanya bisa berdo’a tanpa melakukan apapun untuk meredakan sakitnya. Tanganku terulur menghapus air matanya.

Sreek

Pintu ruang bersalin terbuka, Dokter Hasna dan beberapa perawat yang semuanya perempuan masuk ke dalam ruangan. Dokter Hasna membuka selimut yang menutup kaki Fian dan menekuknya. “Sekarang saatnya, sudah siap bertemu Mismis?” Fian membuka matanya dan mengangguk.

Dokter Hasna menatapku dengan senyuman, walau tertutup masker aku tahu beliau tersenyum. Terlihat dari matanya yang menyipit. “Dalam hitungan ketiga dorong sekuat tenaga. Tarik napas panjang.” Fian mengikuti arahan Dokter Hasna.

“Satu, dua, tiga.”

Aku memejamkan mata dan memanjatkan do’a mendengar suara Fian. Sungguh, aku tidak sanggup melihat ekspresinya sekarang.

Hah

Hah

Hah

Fian menarik napas berulang kali, “Kerja bagus, Fian. Kamu hebat.” Dokter Hasna mengambil gunting dan mengarahkannya ke bagian bawah Fian, apa yang dilakukannya?

“Kita ulangi lagi, ya? Satu, dua, tiga.” Fian mulai mengejan, tatapanku masih tertuju pada Dokter Hasna yang tampak cekatan menggunting sesuatu.

“Kepalanya sudah keluar. Kita lakukan satu kali lagi. Bersiaplah, Umma.” Aku tersenyum memandang Fian yang memandangku.

“Semangat, Umma!” bisikku di telinganya membuat senyuman terukir di bibirnya. Bukan senyuman biasa, sebuah senyuman langka yang jarang sekali di tunjukkanya.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang