29. gak betah,

1.4K 130 14
                                    

Alysa menggeliat, tangannya bergerak secara bebas, tidak sadar dengan keadaannya yang masih terhubung infus, namun untung saja seseorang segera menghentikan pergerakannya, atau gadis itu akan terluka.

"Ak--sa?!" gumamnya penuh ketidakpercayaan.

Seingatnya yang ia lihat tadi siang bukan lelaki ini, tapi kenapa tiba-tiba? Alysa mengucek kedua matanya, hanya sakit kejiwaan yang bisa membuat seseorang berhalusinasi senyata ini.

"Gue nyata." Aksa mengambil alih lengan gadis itu. "Sekalinya sakit, langsung dirawat. Gak lagi caper, kan, biar gue jenguk?!"

Baru saja ia senang dengan kenyataannya, lelaki itu malah membunuhnya lagi secara langsung dan tanpa aba-aba. Semua yang menimpa dirinya selalu dianggap omong kosong, apa Aksa tidak bisa melihat perbedaannya dengan baik?!

"Kalau gak mau, ya gak usah. Lagian gue gak minta lo ke sini, kan?"

"Permisi!"

Kedatangan lelaki paruh baya berjubah putih menarik perhatian, apalagi jarum suntik yang mulai diacungkan. Sungguh, Alysa mampu melompat detik ini juga hanya demi menghindarinya, tapi seolah bisa membaca pikiran, Aksa dengan segera menahan pergerakannya.

Tak ada yang bisa Alysa lakukan kecuali menggigit bibirnya sendiri, kedua matanya pun ditutup rapat, juga sesekali merintih padahal jarum belum menyentuh sedikit pun.

"Sepertinya sudah jauh lebih baik." Dokter bersuara setelah menyelesaikan tugasnya.

"Pastinya, Dok. Obat betulannya kan saya." Aksa menanggapi, sontak membuat Alysa membuka matanya untuk melakukan aksi protes.

"Pantas kalau begitu."

Suara pria paruh baya itu mendahului, membuat Alysa tak lagi bisa menyalahi.

"Kapan bisa pulang?" tanya Alysa mengalihkan pembicaraan, ketidakbetahannya semakin bertambah.

"Sebetulnya hari ini juga sudah bisa pulang, tapi alangkah lebih baiknya besok pagi saja."

Tanpa banyak bicara lagi, Alysa pun meraih ponselnya untuk mengabari kedua orang tuanya agar menjemput pada detik ini juga.

"Dokter bilang besok." Aksa mengambil alih ponsel Alysa.

Alysa melenguh, selang yang masih menempel membuat Alysa tidak bisa bergerak bebas.

"Plis! gue gak betah."

"Mana ada, orang yang betah di rumah sakit?!"

Tak ada lagi sahutan, hanya berganti menjadi suara isakan. Jelas saja Aksa terkejut, sebab ini pertama kalinya ia melihat gadis itu menangis. Walau tanpa Aksa sadari, kenyataannya gadis itu sering kali ia buat lebih dari sekadar sedih.

"Cup, cup!" Aksa bangkit dari duduknya, "kok nangis, sih?!"

"Mau pulang!" ucap gadis itu di sela isakan. "Lo gak tau gimana seremnya di sini, gue takut."

"Ada gue, kan."

Tiba-tiba isakan Alysa berhenti, hampir membuat Aksa tenang, namun satu detik kemudian tangisnya berlanjut. Tidak ada satu pun yang dapat melindunginya dari jarum suntik, seperti yang baru saja terjadi, lelaki itu malah membantu kerja dokter ketimbang mengasihaninya.

"Oke, kita pulang!" putus Aksa, "gue anter!" tambahnya ketika gadis itu hendak mengotak-atik kembali ponselnya.

***

Selama berhari-hari keadaan rumah tidak sehangat biasanya, Arion kehilangan perhatian ibunya, wanita itu berhasil menghukumnya sebab bagi Arion tidak ada yang lebih mengerikan daripada hal ini.

ALYAKSA (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang