Restu orang tua, restu dari Tuhan pula
****
Hari ini surat dari pengadilan agama sudah turun, entah lama sekali surat dari pengadilan turun sampai masa Iddah ku selesai. Dengan berat hati aku menandatanganinya dan pertanda sudah putus pula hubungan suami istriku, keluarga kecilku dan kebahagiaan ku dengan mas alawy.
"Mbak yang sabar ya, rencana Tuhan lebih indah mbak"
Ya,itu suara Rara yang menguatkan ku untuk menandatangani surat perceraian. Sekarang Rara dan pak Radit berada di rumah pak Wisnu. Katanya sih mau main sama si Kesya pengen ketemu sama ibran.
"Sudah mah jangan menangis. Memang ini berat. Tapi aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi" pas Wisnu berusaha menenangkan ku.
Pak Wisnu sudah menyampaikan rencana baik untuk mempersunting ku saat surat itu sudah turun. Berat memang tapi mungkin ini hal yang terbaik yang kulakukan untuk menghapus semua rasa cinta untuknya di hati ku.
Aku mengangguk dan Rara memelukku.
"Mah, jadi kapan kita kerumah orangtuamu, untuk membicarakan hal ini" pak Wisnu terus bertanya tentang itu. Aku masih takut umiku shock mendengar kabar ini.
"Insyaallah nanti sore kita kerumah umi pak"
"Alhamdulillah, baik mah"
"Rara ikut juga ya mbak" Rara menyauti dan dengan antusias ingin ikut kepondoknya dulu.
"Iya Ra" aku mengangguk.
"Makasih mbak udah kangen sama bu nyai mbak"
"Enggeh Ra"
Kami bersiap-siap untuk pergi kerumah umi. Cukup satu mobil untuk kita pergi kerumah umi. aku duduk di belakang dengan ibran dan Kesya. Sedangkan ditengah ada pak Radit dan Rara. Pak Wisnu mengendarai sendiri di depan.
Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba Rara terasa nggak enak badan. Wajahnya pucat dan ingin muntah. Mungkin Rara mabuk karena perjalanan jauh.
"Yang, yang kenapa ih kok kamu kayak gini" kata pak Radit sambil menepuk pipi Rara.
"Mutah mas" Rara menjawab dengan lemas.
Pak Radit mengambil satu kantong plastik dan Rara metuh di kantong plastik itu. Nadanya lemas. Tubuhnya tiba-tiba ambruk di pelukan pak Radit.
"Kalau tau kayak gini tadi gak ikut yang" pak Radit sangat perhatian dengan Rara. Beruntung Rara mempunyai suami seperti pak Radit. Sayang dengan Rara sedangkan aku?.
"Kan aku cuma pingin ketemu bunyai mas" ucap Rara sedikit manja.
"Udah gak papa diri Rara?" Tanya pak Wisnu dari depan dan sesekali melirik kaca atas sambil curi-curi pandang kepadaku.
"Yatuhan semoga ini yang terbaik untukmu" aku berdoa agar pak Wisnu adalah yang terakhir untuk ku.
Kita sudah melewati jalan tol yang panjang. Ibran dan Kesya sudah tertidur di pangkuanku. Sedangkan aku melihat pak Wisnu yang mengendarai sendirian. Terlihat wajahnya sedikit letih. Saat pak Wisnu melihat kaca yang diatas tak sengaja kita bertatap pandang dan ku isyaratkan untuk berhenti untuk istirahat.
Pak Wisnu menepikan mobilnya ke rest area. Ibran yang sudah bangun merengek ingin ke toilet.
"Bun toilet" katanya yang baru saja bangun tidur.
"Yaudah ayo" dengan sabar aku menuntun untuk keluar mobil. Sedangkan Rara dan Kesya tertidur pulas.
Aku pergi mengantarkan ibran ke toilet. Saat ingin jalan. Aku melihat pak Wisnu Yang sedang bersandar seperti tidurnya tidak nyaman. Aku prihatin dengan keadaan pak Wisnu . Setelah aku balik. Aku belikan makanan dan minum untuk meredakan rasa lapar dan hausnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati GUS
SpiritualKeegoisan yang terdapat pada diri seorang Gus yang tidak bisa memilih antara istri pertama dan kedua. Menurutnya ia adil tapi yang dirasakan oleh istri pertama malah sebaliknya. Selamat membaca ❤️ Cerita ini hanya fiktif/hayalan dan benar - benar t...