Fahtinah Nayla putri
Karunia seorang anak perempuan yang cerdas.*****
Satu Minggu setelah kepergian suamiku tubuhku drop karena tidak nafsu makan. Aku terpuruk dan harus merasakan kesedihan yang tak berujung. Pertama harus kehilangan anakku yang sudah aku tunggu-tunggu, kedua harus berpisah dengan cinta pertamaku dan aku berharap inilah kesedihan terkahir ku, harus kehilangan suami yang membuatku bahagia tapi sayang hanya satu bulan aku merasakan itu.
"Mbak, makan dulu. Rara bawain bubur" Rara datang dengan suaminya.
Aku tetap menatap sudut jendela bertirai kelabu yang memancarkan cahaya matahari indah, aku tidak bisa berpaling dengan keindahan itu.
"Hem~" masih saja netraku menatap jendela dengan mengingat semua kenangan dengan suamiku.
Air mataku menetes dengan lancarnya, senyum getir sudah terlihat Di raut mukaku.
"Mbak" Rara menyentuh bahuku, aku segera menyerka air mataku. Aku tidak mau menangis lagi.
"Rara, aku kuat kok" dengan penuh keyakinan dan penderitaan yang tak berujung aku berusaha tegar.
"Iya mbak wanita kuat, wanita tangguh" jawab Rara dengan wajah yang tak tega melihat keadaan ku.
Aku tersenyum getir, tak lama ibran datang dengan kedua orangtuaku dan mertua perempuan.
"Assalamualaikum undaaa" ibran dengan senang mengucap salam dan dia tak pernah meninggalkan mainan yang terkahir di kasih oleh papanya.
"Assalamualaikum" orang tuaku dan mertua ku Kompak mengucapkan salam.
"Wallaikumsalam" aku menjawab dengan senyuman, seperti bayangan luka yang menggerogoti pikiran dan hatiku hilang.
"Udah sehat nduk?" Umi menaruh buah di atas nakas.
"Alhamdulillah mi" senyuman kepalsuan selalu menghiasi wajahku. Bodoh memang dengan mengeluarkan senyuman ini, sama saja aku membunuh diriku perlahan.
"Nak, maafin mama ya" mama mengelus kakiku dengan halus.
"Maaf kenapa ma?" Aku bingung, kenapa mama meminta maaf padaku?.
" Mama sudah memberikan kesedihan buat salamah" mama mengeluarkan air mata dari netranya.
"Ustt, mama Jagan bilang begitu. Insyaallah Salamah sudah iklas kok ma" aku menghapus air mata mama.
Ibran yang melihat neneknya menangis terlihat bingung. Entahlah sejak kepergian papanya ibran tidak suka melihat wanita menangis. Jika ada wanita menangis ibran kelimpungan menenangkannya.
"Nenek napa angis?" Ibran menghampiri mama dan duduk di pangkuannya.
"Enggak, siapa yang nangis?" Mama mengusap bulir beningnya dan berpura-pura seolah-olah tidak menangis.
"Itu nenek menangis" sangat pandai, ibran bisa membedakan orang yang menangis. Dia mengusap sisa air mata di pipi neneknya,
"Jangan nangis, iblan aja nggak nangis. Iblan nggak mau lihat orang nangis"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati GUS
SpiritualKeegoisan yang terdapat pada diri seorang Gus yang tidak bisa memilih antara istri pertama dan kedua. Menurutnya ia adil tapi yang dirasakan oleh istri pertama malah sebaliknya. Selamat membaca ❤️ Cerita ini hanya fiktif/hayalan dan benar - benar t...