Terdalam

1.7K 75 7
                                        

-bagas adhitama pov-

Aku melihat zea pergi menjauh, bukan salahnya jika belum bisa mengertiku. Aku yg merasa memiliki rasa kemanusiaan lebih besar dari yg lain, merasa ingin melakukan kebaikan bahkan dengan mengabaikan permintaan istriku.

Istri yg masih sangat kusayangi, bahkan sekarang jauh lebih kurindukan dari biasanya. Melihatnya pergi dan mengabaikanku sungguh membuatku perih.

Apakah jalan yg kupilih ini benar, kadang aku stress melalui ini semua. Aku menuju meja bella yg sudah menungguku dari tadi. Wajahnya saa muramnya denganku.

"Mas....ada baiknya mas ngejar zea"

"Aku udah janji sama kamu buat jagain kamu sampe orang tua mu bisa menerima kondisimu"

"Tidak dengan mengorbankan zea mas.."

"Dia sehat dan kuat bella, kurasa sebentar lagi dia masih akan tetap menungguku"

"Mas bagas masih keras kepala saja"

Aku terdiam, mencerna kata-kata zea tadi. Hingga membuatku tak menikmati makan siang ini. Meski aku tak bisa didekatnya, aku masih sering mengecek keadaannya pada meike.

Setelah mengantar bella kembali ke apartmentnya aku kembali ke kantor, menyelesaikan foto shoot dengan model baru yg  menggantikan bella kali ini.

"Mas...gimana keadaan mbak zea?"

"Hah? Tumbenan nanya zea?"

"Kemaren lusa malla ketemu mbak zea pas ke resto, kayak kurang sehat"

"Ah masak? Dia fine aja kok"

Setidaknya itu yg kulihat tadi, apa yg tidak kuketahui kali ini. Aku segera menghubungi meike.

Mei...bu zea baik?

Ya pak, hanya kurang sehat

Kabari kalau ada apa-apa

Aku kembali merenung, bagaimana kalau sebenarnya zea memang sedang tidak baik. Namun aku tak bisa berada disisinya meski hanya untuk membuatnya nyaman.

Pikiranku masih melayang hingga malam aku sampai rumah. Aku melihat seisi rumah, serasa semuanya merindukan zea, aku ke kamar mengecek semua tentangnya, beberapa baju masih ada di lemari dan harum sabun mandinya masih sangat kuingat. Aku membuka laci, seolah ingin mengulang banyak memori di kamar ini.

Merindukan hangatnya, merindukan manjanya padaku, dan merindukan desahannya yang mampu menguasaiku sepanjang malam.

Tiba-tiba handphone ku berdering, meike kulihat yg menelfonku

"Ya mei...ada apa?"

"Pak..pak bagas, bu zea jatuhhh"

"Maksudmu mei?"

Aku langsung berdiri dan bergegas sambil masih mendengarkan meike diseberang sana.

"Tadi bu zea sepertinya pusing hingga saat turun tangga beliau jatuh pak"

"Apaaaa.....dimana sekarang ibu?"

"Kami antar ke RS HU pak"

"Saya segera kesana"

Aku menuju mobil, mengemudikan mobilku sangat cepat. Rasanya duniaku roboh seketika, aku gemetar tak bisa langsung disampingnya. Aku hanya berharap zea ku baik-baik saja.

Sampai aku di RSHU, aku berlari menuju ke kamar 405, aku segera mendobrak pintu melihat zea ku tak berdaya pucat pasi dan tak bergerak.
Aku ambruk disamping ranjangnya memegang tangannya, berharap dia baik saja.

"Bapak suami ibu metta zeanata?"

"Iya dok, saya suaminya"

"Boleh keruangan saya sebentar pak?"

Aku mengikuti dokter keruangannya, duduk dan mendengarkan penjelasan dokter ini

"Jadi begini pak, benturan yg dialami ibu metta cukup keras hingga..."

"Hingga apa dok?"

"Hingga kami menyarankan untuk mengkuret janin ibu metta"

Bagai disambar petir,aku mengetahui istriku hamil disaat seperti ini. Aku gemetar mendengar apa yg dokter katakan. Aku mengabaikannya.

"Jadi sejak awal saya sudah memberi tahu ibu metta untuk berhati-hati dan hindari stress, bahkan bedrest saat sudah mulai terasa lemah, namun sy rasa bu metta masih terus banyak kegiatan"

"Sudah berapa minggu dok?"

"Janinnya usia 12minggu, saya khawatir kalau dibiarkan ibu metta yg akan mengalami resikonya"

"Ja...ja...jadi bagaimana baiknya dok"

"Kami akan melakukan kuret atas persetujuan bapak, sebab bu metta saat sadar tadi benar-benar menolak untuk dilakukannya kuret"

Aku benar-benar nanar, merasa bersalah, tak berguna bahkan disaat istriku membutuhkanku. Setelah menandatangani semua berkasnya, aku berjalan gontai menuju ruang operasi.

Berdiri lemas disamping pintu menunggu metta yg didalam sedang dikuret, tak kuasa menahan sakit di dadaku, aku menangis sejadinya. Mengenang semua yg kukatakan hingga menyakiti hatinya. Mengabaikannya saat dia memintaku memilihnya, bahkan tidak ada disampingnya saat dia membutuhkan penjagaanku.

"Bapak...maaf mei tidak bisa bilang tentang kondisi bu zea yg sebenarnya"

"Kenapa mei?"

"Bu zea yg meminta mei untuk bersumpah akan merashasiakan ini dengan siapapun"

Aku hanya terus menangis, membayangkan dia selama ini sendiri dalam apartemennya, sedih dan pasti menginginkan aku segera datang menjemputnya. Tapi aku tak pernah datang, masih menunggu waktu yg tepat menjemputnya.

Kini aku menjemputnya dari ruang operasi, saat kehilangan anak kami. Saat sesuatu yg paling kuinginkan. Sesuatu yg selalu dia tolak, tapi akhirnya dia berikan dan aku tak mensyukurinya.

Bagaimana aku mampu menemuinya nanti?

Kali ini kulihat dia dibawa keluar dari ruang operasi, belum sadar dan masih dengan wajah pucat pasi yg sangat terlihat membutuhkan pertolongan.

Aku meraup wajahku dan berteriak,,,,menyesal...itu yg kurasakan.

TUHAN..berikan aku kesempatan untuk berada disampingnya lagi.

Aku mengikuti mereka yg membawa istriku kembali ke kamar perawatan. Meletakkannya di ranjang dan memberi tahu ku bahwa mungkin besok pagi istriku baru akan sadar.

Aku ingin terjaga semalaman, melihatnya menamatkan wajahnya yg mengiba. Memegang tangannya menguatkan. Menebus dosaku padanya yg tak bisa mengulang waktu.

Make (it better) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang