24

2 0 0
                                    

Juna baru saja memarkirkan mobilnya di halaman depan rumahnya, dengan sangat tidak berperasaan juna membanting pintu mobilnya dan berlari kencangl memasuki rumah.

Tiga puluh menit yang lalu ia baru saja mendapat kabar dari mamanya yang terasa ada sesuatu yang ganjal, setelah itu adiknya kembali menghubunginya bahwa mamanya di temukan tergeletak di dalam kamar mandi dengan luka di bagian tangan dan kakinya, darah bercucuran bercampur dengan air yang di keluarkan dari shower membuat siapapun yang melihatnya akan terkejut dan menjerit.

Tanpa fikir panjang juna segera mengangkat yura ke mobilnya untuk di larikan ke rumah sakit, viana hanya menangis melihat mamanya yang terbaring lemah dengan darah yang ikut berceceran di bajunya.

Tidak lama kemudian mereka sampai di rumah sakit, dokter dan perawat yang bertugas mengurus yura sangat gerak cepat. Kini juna tengah duduk bersana viana di dekapannya mencoba menenangkan adiknya yang menangis mungkin syok karena melihat keadaan yura.

Entah apa yang di fikirkan yura hingga tubuhnya terluka dan banyak mengeluarkan darah, juna jelas khawatir dan takut bila sesuatu terjadi kepada yura tapi ia tidak terlalu menunjukkannya karena ia adalah seorang kakak yang harus terlihat lebih kuat dan tabah agar sang adik tidak perlu cemas.

Sekitar satu jam menunggu akhirnya dokter keluar, membuat juna dan viana berdiri dengan kompak.

"Bagaimana keadaan mama saya dok?" tanya juna.

Dokter menghelai nafas. "Pasien masih belum sadarkan diri, Pasien mengalami pendarahan yang cukup parah. Tapi sebelumnya Apakah pasien sedang banyak fikiran?"

Juna mengkerutkan dahinya. "Memangnya kenapa dok?" bukannya menjawab juna malah balik bertanya, karena pertanyaan dokter membuat fikirannya malah di penuhi dengan tanda tanya.

"Sepertinya ibu kalian sedang banyak fikiran itu membuatnya stres dan melukai dirinya sendiri." mendengar itu juna berfikir sejenak, apakah yura sakit karenanya, kejadian tempo lalu di mana ia dan sang papa bertengkar hebat dan membuat yura sakit agaknya itu adalah penyebap ini semua.

"Apakah pasien sudah bisa di temui?" dengan suara yang masih bergetar karena menangis viana bertanya.

Dokter tersenyum tipis. "Silahkan asal tidak mengganggu pasien, saya permisi jika perlu sesuatu bisa panggil suster nanti." ucap dokter itu ramah lalu pergi dari hapadan viana dan juna.

Setelah kepergian dokter viana masuk ke dalam ruangan di mana yura di rawat meninggalkan juna yang nampak memikirkan sesuatu.

"Kenapa begitu rumit?" batin juna.

***

Juna berdiri di hadapan sebuah pintu bernuansa coklat muda, masih ragu untuk mengetuknya apalagi untuk membukanya. Setelah berperang dengan egonya tadi di rumah sakit akhirnya juna memberanikan diri untuk datang ke kantor aksan untuk menemui lelaki yang beberapa hari lalu bertengkar hebat dengannya.

Juna menghelai nafas untuk yang ke sekian kalinya, memejamkan matanya sebelum benar-benar mengetuk pintu berwarna coklat muda di hadapannya.

'Tuk'
'Tuk'
'Tuk'

"Masuk!" ketukan tangan juna di balas dengan suara khas milik aksan yang tegas.

Akhirnya juna membuka pintu dan melihat papanya yang terduduk di atas kursi dengan tangan yang terlihat sibuk di atas komputernya.

Aksan mendongak melihat siapa yang ada di hadapannya, keningnya nampak mengkerut mungkin karena kerkejut atau mungkin bingung kenapa bisa ada juna.

Juna mengubah mukanya menjadi datar dengan kedua tangan yang di masukkan kedalam saku celananya, juna mengalihkan pandangannya kepada setiap sudut ruangan dengan tengah ia pijak sekarang. "Ruangan ini masih belum berubah." ucapnya sambil berjalan ke arah sofa berwarna biru.

Tampa persetujuan dari sang pemilik ruangan, juna duduk di sofa dengan kaki kiri yang menopang kaki kanan. Aksan masih setia dengan komputernya. "Ada apa kamu ke sini?"

Hal itu membuat juna berdecih. "Apa salahnya jika sang anak mendatangi ayahnya?"

"Papa tidak punya banyak waktu, cepat katakan apa mau mu?" aksan melirik juna sesaat sebelum kembali fokus pada komputernya.

"Juna ini anak papa, tapi entah kenapa juna seperti orang asing disini." juna mengangkat kaki kanannya mengubah posisinya menjadi duduk dengan tegap.

Aksan masih diam tidak bergeming, entah apa isi komputer itu sehingga membuat aksan begitu fokus dan teliti.

"Bahkan tatapan papa sekarang sudah berubah seperti monster."

Lihatlah aksan ia masih tidak menunjukan apapun, pandangannya tetap fokus dengan bedan kotak di dahapannya. "Juna mohon pa, ubah sikap papa sebelum papa nyesel nantinya. Sikap papa udah buat orang terdekat papa ketakutan, apa papa ga pernah fikirin perasaan mama sama viana? Mereka tertekan banget pa, juna mohon pa buat yang terakhir kali ini aja." ucap juna panjang lebar.

Aksan mengalihkan pandangannya, menatap juna yang menatapnya dengan tampang memohon. "Apa kamu datang hanya untuk omongan sampahmu itu? Menganggu saja."

Sungguh bagai di hantam sebuah tombak, tapi juna berusaha untuk tidak terpancing emosi akhirnya juna berdiri ia menghampiri papahnya. "Juna tau bagi papa omongan juna tadi kaya sampah, juna tau papa pasti kecewa sama juna, juna juga ngerti kalau papa juga tertekan tapi stop buat bertingkah kekanak-kanakan pa, sadar papa itu kepala rumah tangga yang punya tanggung jawab besar atas istri dan anak-anaknya tapi papa malah buat keluarga papa tersiksa cuma karena papa kehilangan anak tercinta papa." setelah mengatakan itu juna membalikkan tubuhnya, berjalan menuju pintu berniat pergi meninggalkan aksan yang terdiam mendengar perkataan juna barusan.

Tapi belum sampai tepat di luar ruangan juna menghentikan langkahnya. "Kalau papa masih merasa punya tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga pasti papa tau apa yang harus papa lakuin saat istri sedang terbaring lemah di rumah sakit." setelah itu juna benar-benar pergi dari hadapan aksan yang di datangi dengan seribu tanda tanya dan merasa bersalah mendengar ucapan juna.

Di sisi lain juna memutuskan untuk meredamkan emosinya dengan pergi ke sebuah taman setelah membeli minuman di sebuah minimarket yang terletak tak jauh dari taman yang ia kunjungi saat ini, taman ini nampak sepi mungkin karena hari mulai gelap.

Juna mulai meneguk segelah membuka minuman kaleng tersebut, fikirannya kembali teringat pada keadaan keluarganya. Papanya sungguh sangat keterlaluan, entah karena gengsi yang tinggi atau memang rasa belum bisa merelakan makanya aksan seperti itu. Juna bisa saja memaklumi jika ini masih berada di batas normal, tapi ini? Sangat kekanak-kanakan menurut juna.

Rasa dingin yang mulai menusuk menembus kaos lengan panjang yang ia pakai tak lagi ia hiraukan, rasa dingin ini tidak sesakit saat melihat yura yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit tadi meskipun belum sempat melihat keadaan setelah menjalani pemeriksaan tadi tapi juna ikut mendampingi sang mama yang akan di larikan ke dalam ruangan pemeriksaan tadi.

Juna kembali menegguk kini hingga tandas minuman kaleng tersebut, tapi seolah belum puas juna kembali mengambil minuman itu di dalam kantong plastik yang ternyata juna membeli beberapa minuman yang lain di sana.

Juna sangat merasa tidak berguna sebagai anak, ia sangat menyusahkan kedua orang tuanya. Haruskah ia mati agar papanya menyadari bahwa perginya seseorang tidak harus sampai membuat orang lain ikut tersiksa apa yang di rasakan, juna sangat membutuhkan seseorang sekarang.



















Tbc

Huaaa.. Aku kasian ama mas juna, sini aku aja yang nemenin masnya. Gimana sii pendapat kalian? Aku tau ini bukan apa-apa, tapi setiap saat aku selalu mikirin kira kira ada ga ya yang suka sama cerita aku, tapi gapapa deh kalaupun ga ada yang penting aku udah berusaha buat hibur kalian pembaca setia "MY DIMPLE GIRL"

see you



My Dimple Girl (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang