40

4 1 0
                                    

Sebulan berlalu begitu cepat, kedekatan juna dan yuna tidak ada yang bisa memisahkan untuk saat ini tapi entahlah jika besok, lusa, atau di masa yang akan datang. Tidak ada yang akan mengetahuinya apa yang akan datang ke dalam kehidupan mereka. *terkecuali author dan allah yang tahu.*

Ini sungguh tidak terasa apapun, hanya tinggal beberapa hari lagi yuna lulus dari masa putih abu-abunya, yuna sangat excited menunggu hal itu, begitu juga dengan juna pria berperawakan jangkung itu juga tidak pernah menyangka kalau waktu sungguh berputar begitu cepat, tetapi juna tidak menyesal karena hidupnya sangat berwarna karena adanya yuna wanita yang selalu menjadi alasan ia tertawa dan menangis.

Besok adalah hari minggu, juna baru saja mengambil segelas air dari dalam kulkas dan menuangkannya pada gelas, setelah itu ikut bergabung bersama papanya karena viana sedang berada di kamarnya dan yura wanita itu berada di dapur yang sedang membuatkan cemilan.

Juna meletakkan gelas di atas meja kaca yang terletak di hadapannya itu.

Aksan yang melihat juna terduduk di sampingnya pun tersenyum tipis dan mengusap pelan pundak putranya. "Bagaimana sekolahmu, jun?"

Juna menatap papanya lalu kembali pada posisi awalnya. "Seperti biasanya pa." jawab juna seadanya.

"Lalu bagaimana keadaan gwen."

Sudah biasa baginya, tak heran jika papanya sering menanyakan keadaan gwen karena mereka berdua memiliki hubungan yang cukup baik. "Gwen? Dia sudah lebih baik."

"Sebentar lagi kau lulus bukan?" juna menganggukkan kepalanya sambil sesekali menatap papanya. "Kau mau melanjutkan pendidikanmu atau langsung bekerja menggantikan papa?" pertanyaan itu membuat juna terdiam.

Menunduk menatap ubin yang dingin, tiba-tiba yura menghampiri mereka berdua dengan sebuah nampan yang berisikan cemilan ringan. "Tentu saja dia harus melanjutkan pendidikannya mas, bila perlu sampai S3, iyakan jun?"

Jika di fikir-fikir bekerja langsung bisa membuatnya lebih cepat menghasilkan uang dengan usahanya sendiri ia juga bisa mempersiapkan segala kebutuhan dirinya dan yuna untuk masa depan nanti, tapi sisi lain ia juga harus melanjutkan kembali pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dan bisa saja hal itu lebih menguntungkan untukknya di masa depan.

"Kita tidak bisa egois sayang, biarkan juna yang memilih jalannya sendiri, jangan terlalu memaksakannya jika tidak ingin, keputusan juna pasti papa support."

Apa yang di katakan aksan benar, sebagai orang tua ia tidak bisa egois dan membuat sang anak harus menuruti apa yang di inginkan orang tua, tugas orang tua dalam hal ini adalah mensupport apapun keputusan sang anak dan memberikan semangat saat sang anak gagal.

"Baiklah, jika ini terlalu sulit nanti papa akan bantu. Tapi besok bantu papa untuk menangani urusan kantor ya, sekalian kamu belajar jika suatu saat kamu harus mengggantikan papa kamu tidak akan kesulitan, bagaimana?"

"Kamu yakin mas?" tanya yura.

Aksan kembali menepuk bahu juna. "Tentu saja aku yakin, anakku tidak mungkin mengecewakan jadi jangan cemas."

Juna hanya tersenyum tipis walau di dalam hatinya ia tengah berfikir untuk ke mana ia akan mengambil jalan buat masa depannya kelak. "Juna ikut papa!"

Aksan tersenyum senang. "Kalau begitu pergilah tidur, ini sudah sangat larut."

Juna mengangguk lalu beranjak untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua, tiba-tiba saja ia teringat akan yuna, gadisnya yang selalu ia rindui setiap saat dan akan sangat khawatir jika satu hari saja tidak bertemu.

Mungkin kini yang ia butuhkan adalah wanita itu, wanita yang selalu Menenangkannya dan memberikannya solusi.

Sasampainya di kamar, ia mengambil ponselnya dan mengabari yuna untuk segera keluar dari kamarnya, tak lama kemudian yuna memanggil namanya dari arah kamarnya.

Juna tersenyum ketika yuna menyapanya dengan senyum yang membentuk lesung di kedua pipinya. "Kenapa?"

Juna menopang dagunya di atas besi pembatas balkonnya. "Eumm..." dehemnya.

"Lo lagi ada masalah cerita sama gue?"

"Apa rencana lo abis lulus sekolah?"

Hal itu membuat yuna memikirkan sesuatu, tentu saja yuna akan melanjutkan berkuliah dan setelah itu mencari pekerjaan. "Gue pengen kuliah.." jawab yuna lalu menatap juna.

"Terus apa rencana lo?" lanjut yuna.

"Papa nawarin gue, buat gantiin papa di kantor dia dan menurut gue ada bagusnya juga buat ambil peluang itu, gue bisa lebih cepet dapet pekerjaan.."  juna mengalihkan pandangannya pada yuna. "Dan lagi, gue bisa mempersiapkan semuanya buat masa depan kita nanti..."

Yuna terkejut, tatapan juna membuat hatinya menghangat. Terkejut ternyata juna memikirkan tentang masa depan mereka, tapi apakah perkataan itu benar atau hanya untuk membuat yuna terbang ke langit. Tapi dalam tatapan juna tidak ada kebohongan di sana, yuna bisa merasakan ketulusan di dalam sana.

"Terus lo maunya apa?" tanya yuna.

"Gue bingung." juna mengubah posisinya menyandarkan punggungnya pada pagar besi sambil bersedekap.

"Apapun keputusan lo gue dukung kok, tapi lebih baik lo lanjut pendidikan setinggi mungkin menurut gue itu lebih bermanfaat buat kedepannya..."

"Shess.." juna menjilat bibir bawahnya, pria itu memejamkan matanya sejenak. "Kalau gitu, nanti gue fikirin lagi."

"Eumm..gimana?" tanya yuna yang membuat juna mengkerutkan keningnya bingung.

"Itu, lo beneran serius sama hubungan kita?"

Jujur juna terkejut yuna menanyakan hal itu, bagaimana bisa yuna menanyakan hal tidak penting seperti itu, tentu saja ia serius menurutnya hubungan mereka yang sudah sebulan lebih ini cuman main-main, tapi apakah sikapnya selama ini tidak menunjukkan keseriusan.

"Kok lo nanya gitu sih?"

"Salah ngomong kayanya gue.." gumam yuna meski hampir tidak terdengar tapi masih bisa di dengar dengan jelas oleh juna.

Pria itu menatap mata yuna dengan serius membuat yuna salah tingkah jadinya. "Lo fikir selama ini gue cuman bercanda, dan hubungan kita ini cuman main-main?" yuna tak menajawab ia hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Gue serius sama lo yun, mungkin kalo lo siap gue nikahin lo sekarang juga!"

Kaget bukan main yuna membulatkan matanya. "Lo gila? Masa depan kita masih panjang, gue ga mau nikah muda jun."

"Siapa tau lo raguin keseriusan gue, dan gue siap buat nyatain keseriusan gue."

Yuna menggelengkan kepalanya, juna menggenggam kedua tangan yuna erat yang terasa dingin ketika di genggam mungkin karena angin malam. "Coba tatap mata gue yun!"

Yuna menuruti perintah juna, menatap dalam bola mata juna. "Apa lo liat kebohongan di sana?" yuna menggeleng karena yuna hanya menemukan mata sayu yang selalu membuatnya terbuai saat menatapnya.

"Gue serius sama hubungan kita, dan gue berharap lo yang terakhir buat gue yun, percaya sama gue kalau ada sesuatu masalah di masa depan lo harus selalu percaya kalau gue cinta sama lo..."

Tidak bisa di pungkiri perkataan juna sungguh membuatnya tenang, juna menghangatkan hatinya, mungkin yuna adalah orang yang beruntung ketika bisa memiliki juna yang selalu ada untukknya, membuatnya selalu merasa terlindungi, membuatnya tenang, mungkin benar tak seharusnya yuna meragukan juna, melihat tatapannya saja membuatnya selalu yakin tetapi fikirannyalah yang selalu mempengaruhinya.














Tbc

Mass junaa! Aku padamu mass:'(
Aku tuu terharu-haru jadinya, udah chapter empat puluh nii besok aku up lima chapter lagi gengs!

Semoga menghibur and see you.



My Dimple Girl (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang