31

2 0 0
                                    

Minggu, pukul 07.30
Bandar udara internasiona soekarno-hatta.

Seorang gadis cantik baru saja menginjakkan kakinya di negara yang sangat ingin sekali ia datangi, ia menghirup nafas panjangnya sambil memejamkan matanya sangat senang rasanya bisa kembali dan terbebas dari kesiksaan yang mengurungnya selama ini.

Ia menarik kopernya saat sebuah mobil jemputan sudah datang.

"Selamat pagi nona, bagaimana kabar anda?" tanya sang sopir menyambut yang Kedatangannya dengan ramah.

"Pagi pak jon. saya baik, bagaimana keadaan bapak dan indonesia?" suara itu terdengar lebih bahagia di banding saat kepergiannya dua tahun yang lalu.

"Tentu saja saya baik nona, dan indonesia masih seperti biasanya, jam segini adalah saat-saatnya jalanan penuh dan sepertinya kita akan terjebak macet nona." pria itu membuka kan pintu mobil penumpang.

Wanita itu tersenyum dan masuk ke mobil. "Tidak apa pak, rasanya sudah lama tidak menikmati rasa macet di jakarta dengan terik matahari yang sangat menyengat hingga membuat keringat berceceran membasahi tubuh." ucapnya terkekeh saat sopir ikut masuk ke mobil dan mulai menjalankan mobilnya.

"Hahaha...baiklah nona, bersiaplah untuk menahan sabar terjebak di tengah-tengah kemacetan."

Setelah mobil berjalan tiba-tiba sebuah dering ponsel menyaring dari dalam tas berwana pinknya.

'Papa..'

"Sayang, apa kamu sudah sampai?"

Wanita itu tersenyum. "Sudah pah. oh ya, bagaimana dengan ibu apa dia tau soal kepulanganku ke indonesia?" nada bicaranya nampak khawatir

"Soal ibumu biar menjadi urusan papa, bersenang-senang lah nak manfaatkan waktumu dengan baik. Dan ingat jika terjadi sesuatu segera hubungi papa."

Rasanya hangat saat ada sang papa yang selalu bisa mengerti posisinya sekarang. "Iya pah, aku sayang papa."

"Papah juga menyayangimu gwen." sambungan telepon benar-benar terputus.

Wanita itu nempak tersenyum sambil menopang dagunya sambil melihat pemandangan jalan raya dari dalam mobil, ia sudah tidak sabar untuk menemui seseorang. Seseorang yang pernah ia tinggal dua tahun yang lalu, bukan tanpa alasan tapi ini semua adalah kemauan ibunya, mungkin saja jika ia egois waktu itu mungkin ia tidak akan meninggalkan seseorang yang masih menjadi pemilik hatinya.

"Pak jon, tolong antar saya ke rumah juna bapak masih ingat kan?"

"Baik nona."

***

Sedangkan di posisi yuna saat ini tengah berada di halamannya, tumben sekali di pagi hari ini ia melakukan senam hanya meregangkan tubuhnya dan sesekali berlari di tempat.

Minggu yang sangat cerah, rasanya sayang sekali untuk di lewatkan hanya dengan bermalas-malasan di balik selimut jadi ia memutuskan untuk melakukan aktivitas yang lebih bermanfaat.

Tiba-tiba ryan keluara dengan penampilan rapi dan menyalakan mobilnya membuat yuna menghentikan aktivitasnya. "Mau ke mana, lo?" tanyanya sedikit meninggikan suaranya agar ryan dapat mendengarnya.

Ryan mentap kakanya. "Bukan urusan lo." ucapnya cuek sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil dan melenggang pergi meninggalkan yuna yang tengah menahan emosinya karena sikap kurang ajar adik laknatnya.

Padahal mobil itu adalah miliknya, ya meskipun frans bilang mobil itu adalah milik ryan dan yuna tapi tetap saja mobil itu semulanya adalah miliknya, dan lagi ryan belum memiliki surat ijin mengemudi, umurnya juga baru 16 (enam belas) tahun.

My Dimple Girl (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang