Tidak terasa hampir tiga minggu Erysca tinggal bersama Eve. Selama berada di sini dia selalu mengenakan pakaian milik Eve yang sudah lama tak terpakai. Rasa ibanya mengalahkan keinginannya yang ingin pergi keluar dari hutan ini. Dia tidak tega meninggalkan Eve sendirian di sini. Apalagi keadaan Eve yang akhir-akhir ini semakin memburuk. Jika Eve sudah sehat, Erysca akan kembali membujuk Eve untuk pergi dari hutan ini bersama.
Setiap hari Erysca belajar meracik obat-obatan bersama Eve. Mengenal berbagai tanaman yang bisa dimakan dan tanaman beracun. Eve selalu sabar mengajarinya dari nol. Gurat lelah selalu menghiasi wajah Eve ketika mereka baru pulang dari sungai untuk mandi dan mencuci baju, atau mencari tamanan untuk makan dan membuat obat. Setiap hari Eve meminum ramuan buatannya sendiri supaya tubuhnya tetap sehat.
Namun beberapa hari terakhir ini Eve sering sakit dan terbaring di ranjangnya. Sehingga Erysca yang harus bolak-balik ke sungai untuk mencuci dan mengambil air. Dia juga yang selalu membuat obat untuk Eve dan menyiapkan makanan.
"Nek. Aku akan pergi ke sungai untuk mencuci pakaian."
Erysca mendekati tubuh ringkih si nenek. Mengusap tangan keriputnya dengan gerakan pelan. Nenek Eve membuka matanya lalu menatap Erysca dengan seksama. Kepalanya mengangguk dan tersenyum tipis. Ia membalas genggaman tangan Erysca dengan lemah. Melihat keadaan nenek Eve membuat Erysca semakin sedih. Eve sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Wanita tua ini sangat baik.
"Berhati-hatilah," ujarnya lirih. Erysca mengangguk dan beranjak meninggalkan rumah tua itu.
Sesampainya di sungai, Erysca segera mandi. Kemudian mencuci pakaian miliknya dan Eve menggunakan buah lerak. Dia melakukannya dengan cepat karena tak mau membuat sang nenek terlalu lama menunggu. Di perjalanan pulang Erysca memetik beberapa buah segar untuk persediaan.
Erysca semakin mempercepat langkahnya kala melihat Eve berjalan di halaman rumahnya menggunakan tongkat. Dia terbelalak dan berlari karena Eve yang ambruk ke tanah. Bahkan wadah yang dibawanya pecah membuat pakaian basah dan buah tadi berceceran.
"Nenek!" Erysca berteriak panik lalu memangku kepala nenek itu. Dia berusaha untuk membangunkan Eve.
***
Langit sudah semakin gelap. Namun Erysca tetap duduk bersimpuh di samping gundukan tanah yang masih terlihat basah itu. Dia sudah lelah menangis sejak tadi siang. Tatapannya kosong mengarah ke depan. Orang yang sudah dianggapnya sebagai keluarga selama hampir tiga minggu ini, meninggalkannya.
Erysca mencoba untuk menolong Eve yang tergeletak di halaman rumahnya pagi tadi. Tetapi Eve seakan sudah pasrah pada kematiannya. Dia masih ingat pada dua permintaan terakhir Eve. Wanita tua itu meminta jika dia sudah mati ingin dimakamkan di sebelah gubuk tuanya. Eve sadar jika dia tidak punya siapa-siapa lagi. Maka dari itu dia membiarkan jasadnya membusuk di hutan ini karena pasti tak akan ada yang sudi mencarinya.
Permintaan kedua Eve adalah ia ingin Erysca segera meinggalkan hutan ini dan pergi ke kota. Mencari kehidupan baru di sana. Eve juga mendoakannya supaya Erysca bisa bertemu dengan suaminya kembali. Erysca hanya bisa mengaminkan hal itu seraya menangis hebat. Di depan matanya sendiri ia melihat bagaimana Eve meregang nyawanya.
Berjam-jam sudah Erysca termenung dalam diam. Wajahnya tampak kusut dengan jejak air mata di pipinya. Dia harus tetap tegar menghadapi ini dan mengikhlaskan kepergian Eve. Setelah mendoakan Eve, Erysca beranjak untuk masuk ke dalam gubuk tua dengan langkah lesu.
Dia duduk di ranjang reyot yang ditempati Eve sebelumnya. Suasana tampak sangat sunyi. Tidak ada celotehan Eve yang mengisi hari-harinya. Tidak ada lagi cerita-cerita karangan Eve yang wanita tua itu lontarkan sebelum dirinya tidur. Mengingat hal itu membuat Erysca terkekeh sedih. Eve selalu menganggapnya seperti anak kecil.
Erysca menengadahkan kepalanya untuk menghalau air mata yang akan kembali keluar. Ia mengibaskan wajahnya dengan sebelah tangan. Tubuhnya sudah lelah. Dia memutuskan untuk tidur saja meskipun hari baru saja beranjak malam. Hanya ada obor sebagai penerangnya. Suara binatang malam menjadi pengantar tidurnya yang terasa hampa.
***
Pagi-pagi sekali Erysca sudah bersiap untuk pergi meninggalkan hutan ini. Ia membawa tas lusuh peninggalan Eve. Mengisinya dengan cadangan makanan dan obat. Sebelum pergi Erysca menyempatkan untuk mendoakan Eve terlebih dahulu untuk yang terakhir kalinya. Setelah semua persiapannya selesai dia pun memulai perjalannya. Ke arah utara dari halaman depan rumah Eve.
Tidak ada halangan apapun selama perjalanannya. Erysca hanya sesekali beristirahat untuk makan dan minum. Dia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Pagi berganti siang. Siang berganti sore. Sampai malam menjelang pun dirinya belum juga menemukan tanda-tanda kehidupan manusia lain. Tetapi dirinya tidak mau menyerah begitu saja meskipun tubuhnya sudah sangat lelah.
Kesekian kalinya Erysca memutuskan beristirahat. Air yang dibawanya tinggal seperempat dari wadah. Sedangkan makannya hanya tersisa dua buah apel. Ia mengeratkan jubah yang menutupi tubuhnya. Menghalau dinginnya angin malam yang terasa menusuk sampai tulang. Terpaksa dirinya tidak mengabiskan sisa makan dan minumnya untuk esok hari.
Lebih baik dia segera tidur supaya tenaganya pulih. Mungkin saja di perjalanan besok dia menemukan sungai atau buah. Erysca memperbaiki tudung jubah yang menyembunyikan wajahnya. Akhirnya dia tertidur dengan tubuh menggigil kedinginan.
Suara kicau burung membangunkan Erysca dari tidur lelapnya. Tangannya terentang ke atas. Melemaskan tubuhnya yang kaku karena semalaman tidur di bawah pohon tanpa alas apapun. Tenggorokannya terasa sangat kering. Mau tak mau dia mengabiskan air dan satu buah apel untuk mengganjal perut laparnya.
Dia menghela napas panjang. Bukankan ini keinginannya untuk pergi meninggalkan Wenzell? Lalu kenapa sekarang dia menyesal? Damia pasti sudah merencanakan hal ini. Tanpa sadar air mata kembali mengalir di pipinya. Dia terisak pilu.
Dalam hati ia berdoa semoga Wenzell baik-baik saja di sana. Semoga pria itu tetap sehat. Kekehannya berderai ketika tiba-tiba mengingat bagaimana paniknya Clara dan Greta jika mengetahui tentang dirinya yang hilang. Ia mengeluarkan selembar foto yang selalu dibawanya. Mengusapnya dengan ibu jari. Rasa cintanya selalu ada untuk pria itu. Bahkan bertambah setiap harinya.
Wanita itu semakin tersedu hingga air matanya menetes membasahi foto pernikahannya. Hatinya terus menguatkan jika ini memang keputusannya agar Wenzell selamat. Dia tak mau Damia mengincar nyawa orang-orang yang tak bersalah lagi. Saat ini cintanya sedang jauh. Semoga saja dirinya bisa bertahan. Begitu pula dengan pria itu. Suatu saat pasti mereka bisa bertemu kembali dalam keadaan yang sudah lebih baik.
Erysca berdiri dan kembali melanjutkan perjalanannya. Sesekali ia akan bersenandung untuk menghibur diri. Bagai mengikuti irama nyanyiannya, burung-burung berkicau di atas dahan pohon. Sinar matahari yang terasa hangat seolah mencium kulitnya.
Dari kejauhan dia melihat sesuatu yang lebih terang. Dengan langkah tertatih Erysca berjalan cepat ke arah itu. Saat sampai di pinggiran hutan dia baru bisa benar-benar melihat jika itu adalah jalan raya. Matanya yang melebar tampak berkaca-kaca. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Aku berhasil, Nek," lirihnya disertai isakan pelan.
Sekarang yang harus dilakukannya adalah mencari pertolongan. Wanita itu menyeka air mata di pipinya lalu berjalan lagi. Tidak ada rumah di sini. Mungkin seperti yang dikatakan nenek Eve sebelumnya. Jika tempat ini adalah ujung kota sehingga jarang yang pergi kemari.
Ditilik dari telah adanya jalan beraspal, pastilah kota ini sudah semakin modern. Lagipula itu sudah lama sekali. Berpuluh tahun. Erysca berharap ada kendaraan atau orang yang lewat. Namun harapannya pupus. Tak ada sama sekali selain dirinya di sini. Bahkan sampai matahari semakin terik pun dia masih tetap berjalan.
Erysca sudah semakin lelah. Tubuhnya yang semakin bertambah kurus pun seakan tak bisa menahan bobot lagi. Keringat dingin sudah membasahi dahi dan punggungnya. Tangannya gemetar. Dia jatuh pingsan di pinggir jalan.
***
Tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alpha Wenzell [Completed]
WerewolfSpin-Off #2 My Beloved Mate Saat dirinya telah merasakan segalanya sudah lengkap. Tak ada lagi hampa atau dusta. Saat hidupmu adalah hidupnya. Dan hidupnya adalah hidupmu pula. Saat dirinya merasa benar-benar sudah menemukan orang yang tepat untuk m...