prolog. (Revisi)

24.8K 688 9
                                    

-NOVEMBER, 2018.

"Gaaa, ayooo..!" ajaak seorang gadis berkuncir kuda yang kini menaraik paksa tangan cowok didepannya, dia tengah duduk di teras rumah.

"Tapi ini gelap, hujan juga deras banget, Senaa," jawab nya berusaha menasehati.

"Ini hujanya enak, loh. Ayo lah, Gaaa!" ajaknya masih berusaha. Terkadang akan sangat menyenangkan jika mengajak seseorang mencoba apa yang kita sukai.

Cowok yang kerap dipanggil Arga itu pun mengalah, dia akan berusaha lakukan apa saja untuk Sena-Sahabat terbaiknya, sekaligus orang yang dia sayang, walaupun kakinya masih terasa sakit karena terkena tusukan paku.

Sena Azalea, gadis manis penikmat hujan. Sena juga pernah bilang, selain hujan, ia juga suka, Arga. Klasik. Gadis SMA kelas 10 SMA itu kini berhasil mengambil hati Arga.

Arga hanya menonton kegiatan Sena yang tengah menari nari di tengah derasnya hujan, gadis itu sangat suka dengan hujan. Seperti sekarang ini walaupun malam ia rela memanggil Arga hanya untuk bermain hujan bersama, atau sekedar menemaninya saja.

Hingga, Arga melihat cahaya sebuah truk yang ingin melintas ke arah Sena, refleks Arga berlari sempoyongan untuk menyelamatkan gadis itu.

Jarak truk semakin lama semakin mendekat, Arga pun memaksakan kakinya untuk lari lebih kencang hingga mendorong tubuh Sena ke tepi jalan dan---

---Duaaarr!

"ARGAAAAA!!!" teriak Sena saat bangun dari tidur nya. Tangan gemetarnya hendak mengambil air di nakas namun semuanya tumpah, keringat dingin dan air mata mulai menguasai sekujur tubuh nya.

Kejadian setahun lalu itu selalu menghantuinya, Sena sang gadis periang dengan sejuta keceriaannya kini menjadi gadis yang jarang bicara dan sangat cuek akan sekitar. Dunianya seolah hancur, kejadian itu sangat membuatnya terpukul dan selalu membuatnya merasa bersalah.

Hingga terdengar suara petir yang menandakan hujan akan turun, kini suara petir dan hujan seolah menjadi racun bagi Sena, nafasnya mulai tidak terkontrol, tangannya berkeringat dan tubuhnya bergetar hebat.

Suara gedoran pintu pun membuatnya terkejut. Menunggu lama-- akhirnya pintu terbuka memperlihatkan wanita paruh baya dengan piama yang dikenakannya.

Dengan cepat dia langsung memeluk putrinya yang terlihat kacau, "Sayang, tenang, Nak," ucap Laras-ibu Sena.

Laras melepas pelukan itu dan mengambil obat penenang yang diberikan dokter, ia mulai memberikannya pada Sena, selang beberapa menit gadis itu tidak sekacau tadi.

Kini tatapannya kosong, kejadian-kejadian masa lalu mulai terngiang di otaknya, saat ia datang menjenguk Arga saat itu pula Arga tidak mengenalinya, bahkan Arga selalu mengusirnya. Dokter bilang Arga mengalami amnesia permanen dan hanya mengingat keluarganya saja. Ada secuil harapan yang mustahil terjadi kala itu. Sebulan setelah kejadian ia memutuskan untuk tinggal bersama bundanya di Bandung, dan meninggalkan Jakarta. Meninggalkan Arga dan kenangan indah bersama Arga.

Ayah dan bundanya telah lama memutuskan untuk berpisah, dan Sena pun hanya mengikuti kemauan mereka. Karena percuma saja memaksakan dua pasangan yang tidak lagi saling mencintai, hal itu akan berujung saling menyakiti, dan Sena tidak ingin semuanya semakin kacau.

Walaupun Sena dan Arga tidak lagi bersama, sena selalu mengirimkan Arga sehelai kertas yang dibalut amplop setiap harinya, dengan harapan-- agar Arga mengingat kembali kenangan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun, walaupun tidak ada balasan yang diterimanya. Memang, semua itu hanya harapan yang berujung sia-sia.

"Bunda, Sena yang sudah buat Arga jadi hilang ingatan," ucapnya dengan tubuh yang bergetar hebat. Sudah satu tahun berlalu, tapi kejadian itu sesekali terasa menusuk jantung dan merusak pikirannya.

"Nggak, sayang, ini semua takdir," kini Laras pun mulai mengeluarkan air mata, ia tak tahan melihat Sena selalu menyalahkan dirinya atas kejadian itu. Sadar akan itu, Laras menghapus air matanya cepat, ia tidak boleh lemah yang akan membuat Sena semakin merasa bersalah.

Menit-menit berlalu, kini suasana ruangan itu sudah mulai tenang. Suara hujan diluar tidak lagi membuat keributan, begitu pula dengan petir yang tidak begitu tega bersuara. Seolah mendukung kondisi Sena saat ini, seolah mereka tidak ingin dilupakan, tapi juga tidak ingin menyakiti.

"Bun, bagaimana Arga sekarang? apa Tuhan sejahat itu sampai dia nggak mau pertemukan Sena sama Arga?" tanya Sena dengan tatapan kosong. Tangan Laras masih setia mengusap kepala Sena dan sesekali di kecup penuh kasih sayang.

Laras menarik nafas, berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya, seperdetik kemudian dia tersenyum. "Tuhan itu nggak tidur, cuma belum waktunya aja. Jadi kamu harus sabar, ya?"

Dan inilah kisah mereka^^

Rain And Tears [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang