Bolehkah Sena bersyukur karena Aurel tidak ditempatkan satu sekolah dengannya dan Arga?Bagaimana jika hal itu terjadi? Sena rasa bukan keikhlasan yang akan ia dapat, melainkan makan hati.
Kini mereka sudah berada didalam mobil. Meninggalkan Arga dan Aurel di Restoran. Lagi pula mau bagaimana lagi, kedatangan mereka hanya membuat acara makan mereka terganggu. Bukannya lebay, hanya saja hati manusia tidak bisa dipaksakan.
"Disatu sisi ada Salsha, saudara tiri gue," ucapannya menggantung, Albar yang mendengarnya pun sontak menoleh. "Tapi disisi lain, ada orang yang gak mudah untuk diikhlaskan." Sena mengucapkannya dengan nada lesu. Saat mengingat sesuatu, sontak dia menoleh ke arah Albar dan melanjutkan kalimatnya.
"Bar, lo tau, beberapa hari lalu Arga pernah bilang sama gue, dia bilang gue harus lupain masa lalu."
Albar hanya diam, ia lebih memilih menjadi pendengar yang baik untuk rentetan kalimat yang akan diucapkan Sena.
"Lo mikir gak, sih, itu ucapan tersirat dari Arga yang nyuruh gue mundur."
"Hmm maybe," jawab Albar melihat Sena sebentar.
"Tapi, Bar, gue gak bisa, perasaan gue ini udah permanen," kepalanya kini menunduk. Air matanya perlahan menetes. Sangat cengeng!
"Gada yang namanya perasaan permanen, itu cuma ambisi lo doang."
"Tapi, Bar-"
"Udah hapus air mata lo, ntar gue dikira apa-apain lo lagi."
Refleks Sena menyiku bahu Albar, namun sang empu tidak breaksi apa-apa. Seolah tenaga Sena tidak berfungsi sama sekali untuk cowok itu.
Mobil mulai berjalan ke arah tujuan, rumah Sena.
Didepan pekarangan, Sena disambut dengan kedatangan Keisya. Sena, dan Albar sama-sama bingung, dari mana gadis ini mengetahui alamat rumah Sena dan mengapa ia kemari?"Bar, lo mau pulang, 'kan? Yauda, gih," ucap Sena membelakangi Keisya.
"Dih idup lo enak banget, yah. Tadi aja ngajak keluar sekarang malah ngusir, dahlah males," Sena hanya terkekeh mendengar penuturan dari Albar. Tak lama Albar pun pulang dengan mobil mewah miliknya.
Sena beralih menatap Keisya yang sedari tadi tersenyum, entah apa yang dipikirkan gadis itu.
"Hai Sena," sapa Keisya.
Sena yang disapa hanya bisa menggaruk tengkuknya sembari mengalihkan tatapan, ia bingung harus bersikap apa, gak mungkin juga dia mengusir Keisya.
"Ngapain?" akhirnya hanya kalimat itu yang bisa diucapnya.
"Main," gadis itu menyengir, detik berikutnya ia memasang wajah lesu, "Lo tau gak, sih. Gue, tuh, bosan tau dirumah terus, apalagi bonyok gue gak ada."
Sena mengernyit, "Gada?"
"Nyokap gue udah berpulang, dan bokap gue gak lagi di Indonesia."
Sena menatap Keisya sejenak,"Ohh, yaudah masuk."
"Benar?" tanyanya antusias.
Sena hanya mengangguk dan berjalan mendahului Keisya yang mengekor dibelakang.
"Lo tinggal sama siapa?" tanya Keisya, pasalnya sedari tadi ia tidak melihat satu orang pun dirumah Sena, bahkan saat pertama kali berada dipekarangan.
"Bunda sama Bang Raka."
"Ohh, Ayah lo kerja?"
Sena yang membuka pintu dengan kuncipun menghentikan kegiatannya, hatinya sakit kala mengingat ayahnya yang sudah memiliki keluarga baru, bahkan sedari kecil Sena tak pernah mendapatkan kebahagian tidur bersama kedua orang tuanya, sangat disayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain And Tears [Proses Revisi]
Fiksi RemajaHarap Follow sebelum membaca! Note: Proses revisi. Jika menemukan kejanggalan yang tidak sesuai dari part awal-akhir, harap wajar, proses revisi sedang dilakukan. Dan ada beberapa yang di rubah. Semesta sengaja membuatmu jatuh, layaknya hujan yang t...