"Argaa, kalau misalkan suatu saat kamu punya pacar baru, jangan pernah lupain aku, ya," ucap Sena dengan seragam putih-abu yang masih melekat ditubuhnya. Dibawah pohon rindang, kini keduanya menikmati waktu berdua, pastinya setelah letih karena berjalan sepanjang hari.
Arga terkekeh pelan, "Kalau kamu terus disamping aku, mana mungkin aku lupain kamu. Jangan aneh-aneh, ah!"
"Hati manusia, 'kan, bisa berubah-ubah. Lagian cewek di dunia ini bukan cuma aku, aku juga nggak begitu cantik."
"Iyadeh, lo jelek!" ucap Arga mengejek Sena. Dia berdiri dari duduknya, membiarkan gadis itu mengejarnya untuk meluapkan kekesalannya.
Sena tersenyum mengingat saat-saat itu, kenangan yang seolah telah menakdirkan semuanya, semua yang dikatakannya kini terjadi, ia kadang berpikir apa mungkin jika ia tidak membahas hal itu semuanya tidak akan serumit ini? Ah, ternyata semuanya memang sudah di atur.
Kini Sena tengah menatap bintang dan indahnya cahaya rembulan, ditemani secangkir susu coklat panas. Malam ini hujan tidak turun seperti biasanya, bulan dan bintang adalah sahabatnya sekarang, sedangkan hujan adalah racun dihidupnya. Dipangkuannya sekarang terdapat sebuah buku catatan harian dan bolpoin, benda itu selalu menemaninya kala menatap indahnya ciptaan Tuhan. Perlahan, Sena mulai membuka lembaran demi lembaran, mencari lembaran kosong yang nyaman untuk ditulis.
Untuk saat ini, aku belum bisa memberi kebebasan bagi siapapun untuk mendekat, tentu itu ku lakukan hanya karena kamu yang telah melupakan segalanya. Tidak, aku tidak akan menyalahkanmu dengan keadaan ini, karna semuanya sudah jelas aku yang bersalah. Kau percaya? setiap malamku, memori tentangmu selalu mampir tanpa permisi, seolah ia tak ingin dilupakan, walau aku ingin. Aku selalu berangan- angan agar ingatan mu kembali pulih akan memory indah yang selama ini kita bangun, namun keindahannya runtuh saat kau tak tahu menahu pasal siapa aku dan siapa dirimu.
Aku tak ingin kau mengingat ku, yang ku inginkan kau bisa mengingat kenangan kelam yang sangat menarik untuk diingat.
-SA-
Sena mulai menyobek kertas yang telah ia tulis lalu memasukkannya ke dalam amplop, begini lah kegiatan sena setiap harinya ia tak pernah jengah maupun lelah dengan harapannya yang tidak pasti, namun ia yakin suatu saat nanti akan ada buah manis yang membayar kepahitan hari ini.
***
Tidak seperti biasanya, kali ini Sena datang lebih awal demi melihat seseorang yang selama ini membuatnya merasakan kehadiran rindu. Rindu yang tidak kenal waktu, rindu yang semakin tebal setiap harinya, dan rindu yang sudah penuh di dalam celengan kehidupan.
Pagi itu, Sena menggunakan jaket berwarna coklat susu yang menutupi lengannya. Rambutnya di kuncir kuda dengan belahan poni yang menutupi kanan-kiri jidatnya. Sementara mulutnya tengah mengemut permen susu. Penampilannya kini sudah seperti orang yang tidak punya kejanggalan dihidupnya.
Sebuah panggilan dari arah Warung menghentikan langkahnya, Sena menoleh dan mendapatkan seorang cowok disana, jika orang lain mungkin Sena akan terus berjalan tanpa menghampiri orang yang memanggilnya. Tapi, kali ini berbeda, cowok itu terlihat familiar, hal itu membuat Sena perlahan mendekat dan sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya.
"Albar? ini benaran lo?" tanya Sena pada Albar- sahabat Arga. Dulunya mereka sering bermain bersama, Albar dan Sena cukup dekat jika berbicara tentang persahabatan.
"Iyalah, siapa lagi. Sumpah, Sen, lo tambah cantik aja, walaupun kurus krempeng," kekehnya diakhir kalimat.
Sena yang mendengar sindiran itupun memukul pundak albar sedikit keras hingga membuat sang empu meringis kesakitan. "Semprul, baru ketemu bukannya di sambut ini malah di pukul. Emang, ya, lo nggak pernah berubah, tetap aja anti feminim-feminim club!"
![](https://img.wattpad.com/cover/228624121-288-k702922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain And Tears [Proses Revisi]
Ficção AdolescenteHarap Follow sebelum membaca! Note: Proses revisi. Jika menemukan kejanggalan yang tidak sesuai dari part awal-akhir, harap wajar, proses revisi sedang dilakukan. Dan ada beberapa yang di rubah. Semesta sengaja membuatmu jatuh, layaknya hujan yang t...