Part 2

141K 9.1K 501
                                        



Rinjani keluar dari kamarnya sambil menyeret dua buah koper besar dan sebuah tas tangan yang diletakkan di atas salah satu koper berwarna hitam, saat Wira baru saja menaruh dua piring nasi goreng telur yang masih mengepulkan asap.

Wira bangun lebih awal pagi ini demi keinginannya menyaksikan Rinjani yang bergerak lincah di dapur untuk menyiapkan sarapan mereka. Anggaplah mungkin itu yang terakhir kalinya ia bisa menyaksikan kegiatan tersebut.

Namun, harapannya pupus karena hanya keheningan yang menyapanya ketika ia melangkahkan kaki keluar dari kamar. Sempat melirik sekilas, kamar Rinjani masih tertutup rapat dan entah kenapa Wira tiba-tiba ingin membuat sarapan sederhana untuk sang istri, katakanlah sebagai permintaan maaf pada perempuan anggun itu. Meskipun jelas ia tahu, hanya dengan sepiring nasi goreng telur tentu tidak akan membuat luka hati Rinjani menguap dalam sekejap saja.

Selepas memasukkan dua kopernya di dalam bagasi mobil, Rinjani kembali memasuki rumah, berjalan pelan mendekati Wira yang sudah duduk di meja makan.

"Duduklah, setidaknya kamu harus sarapan sebelum pergi." Lembut sekali Wira berucap. Terlalu lembut sampai-sampai membuat Rinjani ingin berdecih.

"Terima kasih, tapi aku bisa sarapan nanti di apartemen," tolak Rinjani.

Ini pertama kalinya Wira membuatkan sarapan untuk Rinjani selama pernikahan mereka. Kalau saja Wira melakukannya kemarin-kemarin sebelum masalah ini datang, perempuan itu pasti akan memakannya dengan senyum terkembang dan hati yang berbunga-bunga. Tapi sekarang bunga di hatinya sudah mati, jadi berada dalam jarak dekat dengan Wira dalam waktu yang lama bukanlah keinginannya.

Rinjani melepaskan cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Cincin indah berbentuk hati tersebut merupakan pilihan Wira sendiri saat mereka berdua mengunjungi toko perhiasan atas desakan Dian, ibu mertuanya, seminggu sebelum pernikahan mereka. Lalu meletakkan cincin itu di atas meja tepat di hadapan suaminya.

"Aku kembalikan ... terima kasih sudah berusaha menjadi suami yang baik selama enam bulan pernikahan kita. Maaf untuk semua kesalahanku. Maaf untuk ketidakmampuanku membuatmu bahagia ...." Rinjani berujar dengan rasa sakit yang terpusat di dada.

Wira menatap Rinjani dengan wajah sendu. Dapat ia lihat dengan jelas mata Rinjani yang sembab, Wira yakin Rinjani pasti menangis semalaman. Mendadak, ada rasa tidak nyaman menelusup dalam hatinya, karena meskipun ia meyakini tidak mencintai sang istri, tapi perempuan itu yang hidup bersamanya selama satu semester ini. Perempuan itu yang selalu bersikap baik padanya. Wira tahu dirinya jahat, tapi ia juga tidak ingin menyakiti Rinjani lebih lama lagi.

Saat Rinjani melangkah menuju pintu, seketika itu Wira berdiri.

"Maaf ... tolong maafkan aku Jani ...," mohon Wira dengan suaranya yang teramat pelan.

Jeda ... dengan tubuh keduanya yang membeku.

"Hm, aku memaafkanmu, tolong jangan merasa bersalah, aku baik-baik saja." Rinjani menyahut datar. "Selamat untuk rencana pernikahan kalian," lanjutnya.

Langkah kaki Rinjani kembali mengayun, lalu tubuhnya lenyap tertelan daun pintu.

Wira lantas terduduk. Selera makannya langsung menghilang. Dipandanginya nasi goreng telur buatannya. Itu makanan kesukaan Rinjani. Wira ingat percakapannya dengan sang istri di meja makan itu satu bulan setelah pernikahan mereka.


"Pagi, Mas ...," sapa Rinjani seraya menghadirkan senyum manis ketika melihat sosok suaminya memasuki ruang makan.

"Pagi, Jani ... masak apa hari ini?" Wira lekas menyelipkan tubuhnya diantara meja dan kursi.

"Nasi goreng telur. Aku suka banget soalnya, jadi aku sering masak ini. Maaf kalau Mas Wira bosan."
Melengkungkan bibirnya sekali lagi, Rinjani meletakkan sepiring nasi goreng dilengkapi telur dadar di atasnya ke hadapan sang suami.

"Engga apa-apa, aku juga suka. Masakan kamu selalu enak," puji Wira lalu memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya.

"Pantes Mama pengen banget aku nikahin kamu, ternyata kamu itu tipe istri idaman." Wira terkekeh sendiri lantaran ucapannya.

"Satu-satunya alasan Mas Wira nikahin aku adalah permintaan Mama?" Rinjani bertanya lirih. Entah kenapa ia tiba-tiba ingin memastikannya. Tidak adakah keinginan menikahinya dalam diri Wira? Benarkah hanya sekedar mengabulkan perintah ibu mertuanya saja?

Wira gelagapan, ia menelan nasinya cepat lalu menenggak air putih di gelasnya.

"Kenapa jadi tegang begitu?" Memang Rinjani tersenyum, tapi jelas matanya menyorotkan kekecewaan. Berarti betul, alasan Wira menikahinya hanya karena tak mau mengecewakan Dian. Berarti betul, Wira tidak pernah tertarik padanya. Padahal ... apa yang salah dengan dirinya? Semua orang bilang ia cantik. Kulitnya putih mulus dan tinggi badannya setara dengan model-model majalah di luar sana, tapi kenapa Wira tetap tak bisa menumbuhkan rasa?

Dan ketika Wira bahkan tidak berusaha untuk menutupi kenyataan itu, Rinjani terluka.

"Kamu sendiri kenapa mau jadi istriku? Perempuan se-ideal kamu kenapa memilih mengikuti permintaan ayah kamu? Apa karena aku ganteng, hm?" goda Wira sambil menaik-turunkan alisnya. Laki-laki itu sedang mencoba mengalihkan pembicaraan.

Rinjani lekas terkikik geli, sedikit melupakan rasa kecewanya. Ia tidak menyangka suaminya mempunyai tingkat percaya diri yang cukup tinggi.

"Kulo tresno kalih sampean, Mas."
Dengan pipi merona, Rinjani sampaikan isi hatinya sembari menunduk. Meski tau rasanya belum berbalas, tak masalah, ia percaya suatu saat nanti cinta Wira akan menjadi miliknya.

Binar cinta itu terlihat nyata dari mata Rinjani, ia tersenyum mengungkapkan perasaan cintanya pada sang suami. Wira bukannya tidak tahu, pria itu jelas bisa merasakannya sejak hari pertama pernikahan mereka, juga mengingat bagaimana sikap Rinjani selama ini. Tapi baginya ... berpura-pura tidak tahu akan lebih baik sebab ia tidak mau terbebani dengan perasaan Rinjani padanya. Satu hal yang Wira yakini, hatinya tidak mampu menumbuhkan perasaan yang sama.

Bunyi ponsel di saku celananya, membuat Wira tersadar dari lamunan panjang. Dilihatnya ada satu pesan di aplikasi berwarna hijau yang dikirim oleh Ayu.

Ayu : Mas Wira jadi ke rumah kan? Dira kangen ayahnya.

Wira mengulum senyum. Ayu dan Dira adalah kebahagiaannya sekarang. Memikirkan mereka bertiga akan menjadi keluarga yang sesungguhnya membuat hatinya menghangat. Ia sudah memimpikan hal ini dari dua tahun yang lalu, dan selangkah lagi impiannya bisa tercapai, setelah perceraiannya dengan Rinjani selesai.

Wira : Iya ... pulang kantor aku langsung ke sana.
Kalo Bundanya Dira kangen Ayah Wira jg nggak?

Send.

Wira memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemudian masuk ke kamarnya untuk bersiap berangkat ke kantor.


^^^^^

1 Des 22




Begini ges, kmrn ada bbrp yg nanya. Jadi, pas udah sepakat kl ini cerita mau diterbitin, ada lumayan byk tambahan krn byk part yg jumkatnya sedikit. Nah, ada yg dulu aku up di wp, tapi ada yg enggak.

Yg jelas, kl di buku sm ebook, itu udah versi yg ada tambahannya. KBM sm KK jg.

Seperti ituh.

Jangan lupa vote, komen, and pollo, yes!




Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang