"Cepat hubungi bosmu!" perintah pria paruh baya pada pemuda berkemeja biru yang duduk di seberangnya.
Danu lekas mendongak begitu suara yang menggelegar itu bergema. Hanya beberapa detik pandangannya bertemu dengan laki-laki berkumis tebal itu. Ia tak kuasa menatap lebih lama. Lalu matanya nanar menyaksikan ponsel dalam genggaman tangan kanan yang layarnya retak. "Handphone saya rusak, Pak ...." Takut-takut ia menjawab.
Laki-laki paruh baya yang merupakan ayah kandung Rinjani itu mendengkus. Suhendi sebenarnya tahu kalau ponsel pegawai menantunya baru saja jatuh mengenaskan di lantai nan keras. Tapi ia berpikir mungkin saja masih bisa digunakan.
Sudah berkali-kali Suhendi mencoba menghubungi putrinya dari semalam tapi sama sekali tidak mendapatkan respons. Maka dari itu, ia memutuskan terbang dari Semarang di pagi buta. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada anak semata wayangnya. Pasalnya, selama ini, Rinjani tak pernah ingkar janji. Dan ia enggan menghubungi sang menantu.
Rasa khawatirnya kemudian bertambah dengan kekesalan ketika tiba justru mendapati Rinjani tidak ada di rumah Wira.
"Kamu benar-benar tidak tahu mereka di mana?" Tegas sekali laki-laki berkulit sawo matang itu ketika bertanya.
Danu hanya menggeleng lemah sebagai jawaban.
"Sejak kapan mereka pergi?" Masih dengan nada dingin yang membuat Danu merinding.
"Kemarin sore, Pak ...," sahut Danu tanpa berani menatap lawan bicaranya. Dua tangannya saling meremas di atas paha.
"Mereka berdua tidur satu kamar selama di sini?"
"Kepo!" Tentu kata itu cuma berani Danu ucapkan dalam hati. Ia tidak ingin mati konyol.
Kepala Danu lantas mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan Suhendi.
Suhendi kontan memijit pangkal hidungnya sebab mendadak kepalanya pening. Akan menjadi lebih sulit memisahkan Rinjani dari Wira jika kemungkinan buruk yang ia takutkan terjadi. Ia menyesal telah mengizinkan putrinya pergi ke sini.
Derap langkah kaki yang beriringan terdengar memasuki pintu utama. Danu refleks berdiri menyongsong sepasang suami istri yang ditunggu kehadirannya sedari tadi. Ia menghampiri keduanya dengan senyum lega seperti seorang anak yang menyambut kepulangan orang tuanya.
Rinjani dan sang suami tiba di rumah tepat pukul sembilan pagi. Mereka harus terlambat pulang karena ulah Wira. Ia yang baru selesai bersujud pada sang pencipta kembali mendapatkan rentetan rayuan Wira yang bukan cuma berupa kata-kata. Kalah dengan suatu hal yang biasa orang sebut dengan kebutuhan biologis, Rinjani menerima ajakan Wira untuk mengulangi. Dan sama seperti yang sudah terjadi, Wira tak puas hanya jika satu kali.
Senyum Rinjani mendadak surut ketika ia melihat laki-laki paruh baya yang sangat dihormatinya sedang duduk dengan angkuh di sofa. Tak jauh dari sang ayah, retina Rinjani menangkap sosok pria yang selalu menemani ayahnya jika ada urusan bisnis, bersandar di sofa yang sama.
Rinjani baru ingat kalau dirinya meminta izin ke Jakarta cuma dua hari. Sentuhan Wira benar-benar membuatnya lupa diri. Pantas saja sang ayah sekarang berdiri di hadapannya.
"Bapak sama Ibu dari mana saja?" cicit Danu saat jaraknya dengan sepasang suami istri itu tinggal setengah meter.
Rinjani tak memedulikan pertanyaan Danu, ia melewati asisten pribadi suaminya begitu saja untuk menghampiri ayahnya. Sedangkan Wira tersenyum kaku saat mata elang milik Suhendi menatapnya tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomansaKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....