"Nggak baik loh masih siang bolong begini bengong sendirian." Sambil meletakkan cangkir kopinya di atas meja bundar berdiameter 100 cm, Rian duduk di kursi putih di depan Rinjani. Tangan kiri pria itu masih memegang sepotong cheesecake dalam sebuah piring kecil.
Rinjani tersenyum simpul. Lalu segera mengucapkan terima kasih setelah piring kecil itu berpindah ke hadapannya.
"Karena kamu udah manis jadi nggak perlu makanan yang terlalu manis lagi."
Kali ini, Rinjani tertawa. Kehadiran dokter spesialis ortopedi itu mampu mencarikan suasana hatinya yang beku. "Dokter juga praktek di sini?" Setahu Rinjani, Rian bekerja di rumah sakit yang terletak di kawasan sekitar kantornya.
"Habis jenguk kerabat terus nemuin temen lama yang kerja di sini." Rian menyesap cappuccino-nya perlahan, tapi pandangannya tak mau lepas dari sosok perempuan yang sedari ia memasuki cafeteria, tampak menatap kosong pada bangunan di seberang taman. Bangunan yang merupakan ruang rawat inap khusus anak-anak. "Kamu sendiri ngapain bengong sendirian di sini?" Ia lantas balik bertanya.
Rinjani mengalihkan arah tatapnya ke depan sembari melukis senyum tipis. "Jenguk temen."
"Sendiri?"
Tak langsung menjawab, Rinjani kembali menolehkan kepalanya ke samping kiri. Lewat dinding kaca di sebelahnya, dapat ia lihat ruangan yang beberapa menit yang lalu ia masuki.
Wira meminta Rinjani mendekat setelah mengurai pelukan Dira. Rinjani yang membawa boneka beruang berjalan ke arah brankar terus memberikan hadiah tersebut pada si pasien.
Wajah Dira terlihat tirus, kantong matanya juga menghitam. Mungkin kerinduannya pada Wira yang membuatnya sakit. Dokter bilang Dira terserang penyakit typus. Hati kecil Rinjani jelas saja merasa iba. Ia sempat berpikir, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perceraiannya dengan Wira, itu secara tidak langsung akan membuat seorang anak kehilangan sosok ayah. Karena tidak mungkin ia membiarkan Wira sering menemui Dira jika mereka kembali mengarungi bahtera yang sama.
Wira mengenalkan Rinjani sebagai istri saat Dira bertanya. Meskipun mungkin tidak tahu makna istri yang sesungguhnya tapi sepertinya Dira bisa merasakan jika kehadiran Rinjani mengambil sebagian perhatian sang ayah. Jadi anak itu sama sekali tidak mau melepaskan pelukan ayahnya.
Lantaran merasa menjadi orang asing yang tiba-tiba berada di tengah-tengah keluarga bahagia yang sedang menghabiskan waktu bersama, Rinjani pamit pada Wira untuk membeli minuman di kantin rumah sakit. Awalnya, Wira bersikeras mau menemani, tapi Dira yang merengek tak ingin ditinggalkan, membuat Rinjani mengalah dan melenggang sendiri.
"Sama suami," sahut Rinjani kemudian.
Rian melihat ke sekeliling dan pria itu tak menemukan sosok Wira di mana pun.
Rinjani yang paham lekas berkata, "Dia masih ngobrol-ngobrol sama temennya."
Dahi Rian mengkerut. Agak curiga seusai mendengar jawaban Rinjani. Kenapa Wira masih harus di ruang rawat sementara istrinya melamun sendirian di cafeteria? Tapi hal itu bukan urusannya, jadi ia tidak akan bertanya lebih lanjut. Lagipula membicarakan sesuatu yang lain sepertinya akan lebih menarik daripada harus membahas tentang suami Rinjani.
Tidak terasa, sudah satu jam lebih Rinjani keluar dari ruang rawat Dira. Berbincang ringan dengan Rian ternyata bisa membuatnya lupa waktu. Cheesecake dalam piringnya pun habis tak bersisa.
Laki-laki itu memang mempunyai kepribadian yang hangat dan terbuka. Setiap kata yang keluar dari mulut Rian tidak membuat Rinjani bosan untuk menyimaknya. Padahal, yang diceritakan Rian cuma hal-hal sepele seperti keluhan-keluhan pasiennya. Tapi Rian dapat menjadikan obrolan mereka diselingi gelak tawa oleh keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomanceKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....