Ponsel malang itu masih meraung-raung di atas meja. Tidak ada seorang pun yang berniat mengambilnya. Masing-masing dari ketiganya hanya diam membatu di tempatnya.
Layar ponsel itu masih menyala, menampilkan gambar wajah perempuan muda yang tersenyum memperlihatkan deretan giginya. Panggilan dari aplikasi berwarna hijau, belum juga berakhir meski terabaikan.
Si pemilik ponsel duduk menunduk. Wajahnya berubah seputih kapas, beberapa bulir keringat terlihat mengaliri pelipis. Mulutnya tampak komat-kamit merapalkan doa keselamatan. Lantunan piano favoritnya sekarang terdengar seperti panggilan dari malaikat pencabut nyawa.
Ya Tuhan ... kenapa ia begitu bodoh belum juga mengganti nama kontak perempuan itu. Takut-takut, ia sedikit melirik ke arah Rinjani yang terlihat tak terpengaruh.
Berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya di dada, Rinjani menatap datar pada benda canggih itu. Sedangkan laki-laki yang duduk di seberangnya berkali-kali menghela napas berat.
Tiba-tiba suara mengerikan itu menghilang, layar ponsel lekas meredup. Sang pemilik lega luar biasa. Tubuhnya yang tadi menengang kaku, ia sandarkan ke kursi.
Hening.
Beberapa detik.
Baru sebentar napasnya kembali normal, sapaan malaikat maut kembali mengudara. Ia melihat lagi ke atas meja, seraut wajah yang sama muncul lagi di layar handphone-nya. Keringat yang sudah diusapnya, menetes lagi.
Kali ini, wajah Rinjani tak sedatar tadi. Ia menatap si pemilik gawai dengan mata memincing tajam. "Angkat, Danu!" perintahnya tegas.
Tangan Danu yang gemetaran terulur ke atas meja, meraih ponselnya. Saat benda pipih itu sudah berada dalam genggaman, ia menatap Wira, meminta persetujuan.
Wira mengangguk, bukan lantaran ingin tahu alasan mantan kekasihnya menghubungi Danu, tapi lebih karena tidak ingin membuat Rinjani merangkai prasangka buruk padanya.
"Loudspeaker! Siapa tahu ada yang sedang merindukan suaranya disini." Rinjani mengatakannya sambil melirik Wira.
Dengan tangan yang masih gemetaran, Danu mengusap layar gawainya.
"Hallo, Mas Danu ...."
Suara lembut perempuan itu terdengar serak.
Sekejap Rinjani memejamkan mata, betapa janda muda itu berpengaruh begitu besar dalam pengendalian emosinya. Membuang napas kasar, ia lalu melirik Wira yang sangat tenang dalam duduknya.
"I ... ya ... Mba ...," jawab Danu terbata.
Belum terdengar suaranya lagi, mungkin perempuan di seberang sana sedang merangkai kata.
"Mas ... apa Mas Wira belum mau nerima telpon dari saya? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."
Terdengar tarikan napas panjang perempuan itu.
Rinjani mendekat, dan Danu yang paham lalu memerhatikan bibir Rinjani yang bergerak tanpa suara.
"Mba bisa bicara sama saya, nanti biar saya sampaikan."
"Apa Mas Wira lagi sama Mas Danu sekarang?"
Pertanyaan perempuan itu dilontarkan dengan nada penuh harap.
Danu kebingungan, apakah ia harus menjawab dengan jujur atau tidak. Danu kemudian melihat Rinjani mengangguk sedangkan bosnya justru menggeleng.
Bagaimana ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomansaKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....