Part 23

92.8K 7.3K 317
                                    




Bayi merah yang baru dilahirkan semalam itu, terlihat sangat nyaman di gendongan laki-laki yang nantinya akan dipanggilnya dengan sebutan ayah. Ia bahkan sama sekali tak terusik saat pipi merahnya diciumi sang ayah berkali-kali.

Sementara, perempuan yang melahirkan bayi itu, memandangi keduanya dengan penuh haru. Perjuangannya untuk mengantarkan buah hatinya ke dunia terbayar sudah. Meski ia berjuang sendirian tanpa dukungan siapa pun tadi malam, ia tetap merasa sangat bahagia sekarang saat melihat laki-laki yang ia cintai setengah mati begitu menyayangi anak mereka.

Laki-laki itu lalu membawa sang bayi dalam gendongan untuk duduk di sisi ranjang. Tangannya terulur kemudian, membelai pipi perempuan muda yang telah menjadikannya ayah dari seorang putri. "Terima kasih sudah melahirkan bayi yang sangat cantik." Ia tersenyum manis lalu lagi-lagi menghujani wajah bayinya dengan kecupan-kecupan sayang.

"Mas bahagia?" tanya perempuan yang baru melahirkan itu hati-hati.

"Sangat." Si pria menyahut sambil tetep memandangi putri mereka. "Dia mirip aku."

Perempuan itu lantas mencetak senyumnya lebar-lebar. Ada kebanggaan tersendiri ketika ia dapat memberikan kebahagian untuk ayah dari bayinya. "Mas sudah siapkan nama?" tanyanya selagi mengelus rambut anaknya yang masih tipis.

Mengalihkan perhatiannya pada perempuan yang masih terbaring lemah di atas brankar rumah sakit, ayah si bayi menjawab, "Dira Lesmana. Bagaimana?" Meskipun ia tahu kalau ibu dari anaknya ini akan selalu menyetujui setiap keputusannya, akan tetapi ia tetap ingin mendengar pendapat perempuan itu tentang nama yang akan diberikannya pada putri mereka.

"Bagus. Apa artinya?"

"Di diambil dari namaku, sedangkan ra dari Rahayu."

Hati si perempuan muda semakin berbunga-bunga, tak menyangka jika pujaan hatinya akan menyelipkan namanya pada nama buah hati mereka. Senyum masih menghiasi wajahnya yang pucat.

Ting.


Satu pesan masuk pada ponsel laki-laki itu.

Setelah mengembalikan ponsel yang tadi dilihatnya sekilas pada kantong celananya, laki-laki itu kemudian menidurkan bayinya di ranjang pasien, di samping kiri sang ibu.

"Aku harus ke bandara, kakakmu minta ditemani ke luar kota." Laki-laki itu lekas beranjak. Sekilas, ia mengecup pipi bayi yang masih terlelap lalu mencium kening ibu dari bayi itu. "Mulai hari ini ada ART yang akan menemanimu. Sebentar lagi dia datang." Dibelainya pucuk kepala perempuan muda itu sebentar. "Aku pergi dulu ... kalau ada apa-apa tentang Dira, jangan sungkan untuk menghubungiku," pamitnya kemudian.

Tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir perempuan itu. Tatapannya mendadak kosong. Kebahagiaan yang baru sekejap mata dirasakannya, langsung menguap entah ke mana. Dan ketika sosok laki-laki itu menghilang di balik pintu kamar rawat inapnya yang tertutup, air matanya mulai berjatuhan. Ternyata .... kebahagiaannya memang tak pernah lama. Baru saja ia merasa memiliki keluarga yang sesungguhnya, kenyataan terlalu cepat menampakkan wujudnya.


Ayu memerhatikan Dira yang tengah bermain di ruang keluarga bersama dengan seorang wanita paruh baya. Balita itu sedang mencoba mengganti baju barbie-nya.

Bayangan empat tahun silam saat ia baru saja melahirkan Dira, kembali mengusik kesadarannya. Tak terasa ... kristal bening di kedua bola matanya pecah. Setelah ia kehilangan laki-laki itu, haruskah ia juga kehilangan buah hatinya?

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang