Part 5

117K 9K 296
                                    




Bima Wiranata Kusuma dan Diany Jasmine memiliki satu putra dan satu putri. Putra pertama mereka adalah Arjuna Wiranata Kusuma, sedangkan sang adik yang lahir tujuh tahun kemudian diberi nama Cintya Wiranata Kusuma.

Secara fisik, Wira mewarisi darah campuran dari Dian, kulit putih, hidung mancung, dan badan yang tinggi besar seperti ibu kandung Dian yang berkebangsaan Belanda. Meskipun tidak bisa dikatakan bak dewa Yunani, tapi Wira memiliki pesonanya sendiri, pesona yang mampu membuat Rinjani jatuh cinta pada pandangan pertama. Konyol memang, nyatanya pertemuan kedua keluarga untuk mengenalkan mereka berdua dapat membuat seorang Rinjani mengatakan 'Iya' lalu menerima rencana perjodohan mereka.

Sedangkan Cintya lebih menyerupai Bima, wajah khas orang Indonesia asli tapi memiliki tinggi di atas rata-rata wanita pribumi.

Wira masih setia menggenggam erat tangan kiri Cintya yang tepat di pergelangannya terdapat luka sayatan. Hatinya berdenyut nyeri melihat adik yang sangat dicintainya hampir merengang nyawa. Mata Cintya masih terpejam erat, wajahnya pucat pasi. "Cepet sadar, Dek ...," ucapnya lirih.

Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap satu jam yang lalu. Tepat pukul tujuh malam beberapa dokter dan suster yang menangani Cintya keluar dari ruang ICU. Dokter menjelaskan kondisi Cintya sudah cukup stabil setelah dilakukan beberapa tindakan dan juga transfusi darah.

Tadi stok darah AB di rumah sakit sempat kosong. Karena pasien memerlukan transfusi darah secepatnya, maka pihak rumah sakit meminta donor darah dari keluarga. Hanya Dian dalam silsilah keluarga Wiranata Kusuma yang memiliki golongan darah yang sama dengan Cintya tapi lantaran kondisinya juga dalam keadaan yang tidak baik, Dian dilarang menjadi pendonor oleh dokter. Akhirnya Rinjanilah yang menyumbangkan darahnya. Membuat rasa bersalah Wira pada perempuan itu semakin menggunung.

Dian sendiri disarankan untuk istirahat di rumah, dokter mengatakan kalau perempuan paruh baya itu hanya mengalami syok, tapi tetap saja tubuhnya masih lemah. Setelah mendapatkan bujukan dari semua orang, Dian bersedia pulang dengan Bima dan akan kembali ke rumah sakit esok pagi.

Pintu ruang rawat mendadak terbuka. Rinjani masuk membawa satu kantong plastik putih berisi satu bungkus nasi goreng dan satu cup kopi yang baru saja dibelinya di kantin rumah sakit. Meletakkan kantong plastik di meja, ia lalu menyenderkan punggungnya di sofa dan mulai membaca beberapa pesan yang masuk ke gawainya.

"Kamu sudah makan?" Wira mengambil posisi duduk di sebelah Rinjani dan menatap istrinya yang sibuk memainkan ponsel.

Rinjani hanya berdeham untuk menanggapi.

"Ini buat aku?" tanya Wira sekali lagi.

"Ya." Jawaban yang sangat singkat Rinjani berikan, bahkan perempuan itu tak mengalihkan tatap dari ponsel dalam genggaman.

Hati Wira kembali perih, perempuan di sampingnya ini sudah ia sakiti sangat dalam, tapi masih saja peduli padanya, juga pada keluarganya. Serta masih bisa bersikap begitu baik. Tidak ada amarah, tidak ada dendam, hanya semakin terlihat mengambil jarak dan berkomunikasi seperti orang asing.

Cuma setengah porsi dari nasi gorengnya yang Wira habiskan. Beranjak membuang bungkus nasi ke tempat sampah, ekor matanya melihat Rinjani yang menguap. "Kamu tidur di situ," tunjuk Wira ke arah tempat tidur yang memang disiapkan untuk keluarga pasien. "Biar aku yang tidur di sofa," tambahnya segera.

Rinjani tak menyahut pun tak mengangguk. Ia malah bergerak menuju kamar mandi.

Setelah beberapa menit berada di kamar mandi, Rinjani keluar dengan wajah yang terlihat lebih segar. Baru saja mendudukan dirinya di atas tempat tidur, ponselnya di atas meja berdering. "Hallo ...."

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang