Kening Wira membentuk beberapa kerutan halus. Tak mengerti kenapa tiba-tiba Rinjani bertanya seperti itu. Ia batalkan niatnya untuk menyuapkan nasi ke dalam mulut, diletakkannya sedok dan garpu ke atas piring, lalu Wira fokus menatap sang istri yang sepertinya masih ingin bicara.
"Kamu memutuskan untuk meninggalkan mereka karena kasihan padaku, tidak salah kan kalau sekarang aku berpikir kamu akan kembali pada mereka karena iba melihat kondisi Dira?"
Wira mengurut pelipisnya frustasi. Mengapa perempuan yang ia nikahi ini belum juga mengerti? Tentang perasaan yang sudah sangat gamblang ia ungkapkan. Harus dengan cara apalagi agar dapat Rinjani rasai? "Aku tidak akan pernah lagi menemui mereka. Keputusanku untuk memilih pernikahan kita tidak akan berubah sampai kapan pun," jawabnya tanpa keraguan.
Rinjani tersenyum meremehkan. "Kamu yakin? Padahal dengan memilih mereka kamu bisa dapet istri sekaligus anak. Menjadi keluarga yang lengkap."
Melihat beberapa ekspresi dari wajah istrinya, malah menjadikan Wira lebih semangat menanggapi. Bukan raut datar lagi yang dilihatnya kini. Ia seperti kembali ke masa beberapa bulan yang lalu. "Dengan bersamamu ... dunia dan seisinya dalam genggamanku." Wira lalu tersenyum manis.
"Kamu akan mati menahan rindu pada Dira."
Kali ini Wira tidak sanggup menahan tawanya lantaran mendengar nada cemburu yang terlontar dari bibir istrinya. Keyakinannya untuk memiliki hati Rinjani lagi semakin besar. "Aku bisa membuatmu melahirkan banyak anak. Jadi aku tidak akan merindukan anak orang lain."
Berdecak malas, Rinjani menunjukkan raut wajah kesal. "Atau mungkin juga akan merindukan ibunya."
Sekilas Wira menggeleng, lalu meraih tangan Rinjani di atas meja terus memberi belaian di punggung tangan perempuan itu. "Aku sudah merindukanmu setiap waktu, bahkan sekarang, saat kamu ada di hadapanku, aku tetap merindukanmu."
Rinjani menarik tangannya kasar. Ia merasa dipermainkan oleh jawaban Wira. "Aku serius!"
"Aku lebih dari serius," sambar Wira bahkan sebelum mulut istrinya tertutup rapat. Ia lantas mengunci netra Rinjani dalam tatapan penuh cinta.
Rinjani ikut larut dalam sesaat. Ia dapat melihat binar yang terpancar dari sorot mata Wira. Sama persis seperti sewaktu ia memergoki Wira dan keluarga kecilnya untuk yang pertama kali. Tapi rasa percaya yang selintas menyapanya, segera ditepisnya jauh-jauh. Tidak mungkin hati manusia berubah secepat itu.
"Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, Jani. Jatuh lebih dalam dari yang lainnya."
Rinjani lalu tidak bisa menahan keinginannya untuk tertawa. Lucu. Lucu sekali. Apa menurut Wira, ia sangat bodoh? "Belum genap dua bulan sejak kamu memutuskan membuangku. Terus sekarang kamu bilang cinta? Kamu pikir aku percaya? Cinta tak sebercanda itu, Tuan Wiranata!"
Lekas beranjak dari meja makan, Rinjani hendak kembali ke kamar. Namun, belum ada empat langkah kakinya bergerak, tubuhnya didekap seseorang dari belakang.
"Tapi takdir memang semisterius itu kan, Sayang." Wira mengatakannya persis di belakang tengkuk sang istri. Sampai-sampai perempuan itu bisa merasakan hangat embusan napasnya.
Rinjani merinding ketika merasakan bibir Wira memberikan kecupan-kecupan ringan di tengkuk hingga merambat ke leher bagian samping.
Tiba-tiba pemikiran tentang ... mungkin saja bibir itu juga pernah melakukan hal yang sama pada perempuan lain, memberi Rinjani kekuatan untuk melepaskan pelukan Wira dengan kasar. Ia kemudian berbalik dan menatap suaminya tajam. "Kamu juga melakukan ini pada perempuan itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomantizmKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....