Part 6

113K 8.4K 90
                                    




Menyusuri lorong rumah sakit sambil menenteng sebuah paper bag cokelat yang berisi makan malam untuknya dan Rinjani, Wira berjalan sambil menyunggingkan senyum tipis. Hari ini pekerjaan yang harus diselesaikannya cukup banyak, jadi bila hari-hari biasanya ia sudah berada di rumah sakit sekitar pukul setengah enam sore, sekarang ia baru datang di jam delapan malam.

Berharap Rinjani belum makan malam, Wira sempatkan mampir di restoran favorit istrinya yang menjual berbagai kudapan khas Jawa Tengah. Setelah mendapatkan dua porsi nasi liwet solo, ia lalu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untuk Cintya, Wira memang tidak membelikan makanan karena pasien diharuskan memakan makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit.

Membuka kamar inap Cintya dengan pelan, sulung Bima itu mendapati adiknya yang sedang memakan potongan apel dari tangan Dian.

"Loh Abang kok ke sini?" Dian berkerut dahi ketika mengatakannya.

Dian dan Cintya memandang Wira yang baru melangkahkan kaki dari pintu kemudian menutupnya perlahan.

"Biasanya kan tiap pulang kerja aku emang kesini, Ma." Wira meletakkan paper bag-nya di atas meja, terus duduk di pinggiran brankar adiknya. "Gimana keadaan kamu hari ini?" Ia lantas menggenggam tangan kiri Cintya lembut.

Sudah satu minggu berlalu, kondisi fisik Cintya sudah membaik. Luka di pergelangan tangannya perlahan pulih. Menurut dokter yang merawatnya, Cintya sudah diperbolehkan pulang besok pagi, karena memang luka sayatannya tak terlalu dalam.

Selama tujuh hari ini, Dian dan Joleha mendapat jatah jaga dari pagi sampai sore, kadang juga ditemani Bima jika ayah Wira itu tidak terlalu sibuk di kantor. Sedangkan Wira dan Rinjani berjaga dari sore sepulang kantor sampai pagi menjelang.

Stevan sendiri selalu datang setiap hari, namun harus berakhir dengan penolakan Cintya yang tidak ingin bertemu suaminya. Luka fisik Cintya memang hampir hilang, tapi luka di hatinya masih berdarah sekaligus bernanah. Maka dari itu, ia belum siap bertemu dengan Stevan. Sebab, hanya dengan mengingat perselingkuhan Stevan saja, nyawanya seperti hampir terlepas dari raga. Ya, lukanya memang sedalam itu.

"Udah lebih baik." Cintya menjawab disertai senyum tipis. "Kirain Abang nggak ke sini malam ini, makanya aku ditemani Mama."

"Kamu bawa apa, Bang?" Dian membuka paper bag dan menautkan alis begitu tahu isinya. "Nasi liwet buat siapa? Mama sama Cintya kan nggak suka nasi liwet."

Walaupun secara fisik Cintya lebih mirip Bima yang asli keturunan Jawa, akan tetapi untuk selera makan, ia lebih suka makanan ala Barat seperti ibu kandungnya.

"Aku sama Rinjani," jawab Wira.

Dian dan Cintya sontak memandangi Wira heran.

"Kalo ini buat Rinjani, ngapain kamu bawa ke sini? Udah sana bawa pulang," perintah Dian tegas. "Malam ini biar Cintya mama yang jaga, bentar lagi juga Papa dateng," sambungnya.

"Loh Rinjani nggak ke sini?" Wira langsung merutuki kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya, karena setelah itu mata Dian menyipit memandangnya curiga.

Selama satu minggu ini, ia dan Rinjani memang sengaja bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dalam rumah tangga mereka. Wira belum sanggup mengatakan yang sebenarnya. Ia takut keluarganya marah besar, apalagi setelah apa yang menimpa pernikahan Cintya. Ia yakin adiknya itu pasti akan membencinya kalau saja perempuan itu tahu, Wira melakukan hal yang sama pada Rinjani, sama seperti yang dilakukan oleh Stevan.

Juga tentang kesehatan Dian yang kemungkinan besar akan memburuk jika mendengar kabar perceraiannya. Bagaimana mungkin ada orang tua yang tahan melihat rumah tangga kedua anaknya hancur di saat yang bersamaan. Jadi ia memutuskan untuk merahasiakan keadaan yang sebenarnya entah sampai kapan.

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang