Rinjani langsung mendapatkan pelukan hangat dari Cintya ketika ia dan Wira baru saja memasuki ruang makan. Senyum ceria Cintya sudah kembali, kedua bola matanya juga tak meredup lagi.
"Selamat ulang tahun, Kak ...."
Ucapan itu terlontar sesaat setelah pelukan mereka terurai. Cintya lalu menyerahkan kotak persegi berwarna hitam yang dihiasi pita merah di atasnya.
"Terima kasih, Dek ...." Rinjani menerima hadiah tersebut dengan senyum terkembang. "Harusnya nggak perlu repot-repot siapin kado segala, Dek."
"Nggak repot lah, Kak. Masa buat kakak ipar tersayang repot sih," jawab Cintya. Perempuan itu kemudian menghampiri kakak kandungnya yang berdiri di belakang Rinjani terus memeluk Wira sebentar.
Ketiganya lanjut berjalan menuju meja makan. Sudah ada sepasang suami istri pemilik rumah yang sedang duduk di kursi. Juga ada kedua orang tua Wira yang berdiri di sisi kanan meja makan sambil tersenyum lembut ke arah Rinjani.
Dian lekas merentangkan tangannya lebar-lebar manakala Rinjani mendekat. Dibawanya sang menantu kesayangan dalam dekap hangat seorang ibu. Mulutnya merapalkan beberapa doa untuk kebaikan dan kebahagiaan Rinjani. Begitu pula dengan Bima, sambil mengelus lembut puncak kepala perempuan yang sudah dianggap seperti putri kandungnya sendiri, Bima berharap semoga keluarga besar mereka segera diramaikan suara tangisan bayi.
Masih memeluk bahu adiknya, Wira memerhatikan betapa keluarganya sangat menyayangi Rinjani. Ia lantas mengutuk dirinya sendiri yang sempat mempunyai keinginan untuk menceraikan perempuan baik itu.
Memalingkan wajah ke sisi kiri, lukisan senyum di bibir Wira seketika menghilang. Bapak serta ibu mertuanya memandangi Rinjani dan kedua orang tuanya dengan tatapan kosong. Ia juga baru menyadari kalau belum sempat menyapa mereka semenjak ia datang.
Wira beranjak untuk menyalami dan mencium punggung tangan mertuanya bergantian. "Bagaimana kabarnya, Bapak, Ibu? Maaf ... semalam saya langsung ke kamar Jani."
"Baik."
Jawaban nyonya besar keluarga Broto Negoro yang sangat singkat dan datar berhasil mengaduk-aduk perasaan Wira menjadi tak karuan. Apalagi Sekar sama sekali tak memandangnya, perempuan itu lebih memilih menyunggingkan senyum tipis ke arah Dian dan Bima yang mulai menduduki kursi seberang.
Belum pernah sebelumnya sang ibu mertua bersikap sedingin itu. Bahkan Suhendi Broto Negoro tak sedikit pun menimpali perkataannya. Padahal biasanya Wira selalu disambut dengan hangat.
Wira yakin telah terjadi sesuatu.
Tapi ... apa?
Jantung Wira seperti akan melompat keluar ketika akhirnya menyadari sesuatu.
Mungkinkah mereka tahu?
Makan siang di meja besar itu hanya diisi oleh suara denting piring dan sendok. Meski kadang sesekali Cintya mengatakan sesuatu, Rinjani cuma menanggapi seadanya. Danu dan Haryo yang ikut bergabung juga sama sekali tak mengeluarkan kata.
Sementara Bima dan Dian tak jauh berbeda, lebih memilih diam karena mungkin sudah menyadari jika suasananya tidak sehangat biasanya.
Seolah lupa kalau cacing-cacing dalam perutnya sudah hampir mati kelaparan, Wira hanya mengaduk makanan dalam piringnya tanpa berniat memasukkannya ke dalam mulut. Selera makannya betul-betul lenyap. Detakan kuat di dalam rongga dadanya semakin membuatnya tak nyaman.
*****
Danu memandang sedih pada bosnya yang kini sedang duduk tertunduk di sofa tunggal tepat di sampingnya. Wira bak terdakwa yang tengah menjalani sidang di hadapan majelis hakim.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomanceKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....