Part 27

92.3K 7.4K 373
                                    



Peringatan keras! Terdapat adegan ranjang dalam part ini.

*****




Entah sudah berapa puluh kali Wira mengumpat dalam hati. Di dalam bibirnya yang terkatup rapat itu ada rentetan makian yang ingin ia lontarkan, meski tak tahu kepada siapa harus tertuju.

Satu jam ia berada di sini, duduk sendirian seperti orang bodoh. Matanya sibuk memindai setiap gerak sang istri, yang sekarang sedang asyik bercengkerama sembari mengumbar tawa.

Mereka kembali berada di tempat yang sama seperti tadi pagi. Hutan pinus yang sekarang semarak dengan kerlap-kerlip lampu. Dekorasi malam ini sedikit berbeda dengan saat berlangsungnya akad suci. Untuk malam resepsi, kedua mempelai menyulap tempat terbuka tersebut menjadi sangat romantis. Bunga putih yang tadi pagi berjejer rapi sudah berganti mawar merah menyala. Lampu-lampu digantung cantik mengelilingi tempat itu, cahayanya berpadu dengan bintang dan bulan yang berpendar di atas sana.

Ada band pengiring yang sedang bernyanyi di atas panggung, menemani para tamu undangan yang sedang menyantap makan malam dalam meriahnya acara, yang sayangnya berbanding terbalik dengan suasana hati Wira saat ini.

Sejak keluar dari villa, Rinjani sudah didominasi oleh Siska. Diajak berkeliling untuk sekedar berbasa-basi atau berkenalan dengan para tamu yang entah siapa. Dan sekarang sang istri sedang berbincang dengan kedua pengantin beserta kolega mereka yang lainnya. Jangan lupakan juga kehadiran seorang dokter spesialis yang duduk persis di samping istrinya. Rinjani seakan tak mengingat kehadirannya.

Wira mengeram ketika disaksikannya wajah si dokter sialan mendekati telinga kiri Rinjani lalu bibir pria itu bergerak perlahan. Ia sontak berdiri sembari membanting serbet ke atas meja.

"Yang namanya calon mantan suami mah udah nggak boleh ikut campur."

Kaki kanan yang hendak melangkah ke depan, Wira tarik kembali manakala kata-kata Siska menyentak kesadarannya. Punggung tegapnya lantas menyentuh lagi sandaran kursi dengan mata yang tetap menyorot pada sang istri. Tetiba panas di dadanya berubah menjadi denyutan nyeri. Tangan yang tadi terkepal menahan amarah, kini beralih fungsi, menjadi penahan perih agar tidak merambati ragawi.

"Permisi ... boleh gabung di sini?"

Dua perempuan dengan gaun senada berdiri di sisi meja yang lainnya, tangan keduanya memegang piring berisi dessert.

"Ya," jawab Wira tak acuh.

Perempuan-perempuan itu kompak tersenyum manis, lalu menyelipkan tubuh ramping mereka diantara kursi dan meja.

Wira mencoba menelan makan malamnya pelan-pelan. Walaupun makanan itu berasal dari restoran terkenal, tapi baginya terasa hambar.

"Sendirian aja, Mas?"

Mengalihkan pandangan ke depan, meski sebenarnya tak tertarik, Wira mengulas senyum tipis.

"Temennya Andrea apa Candra?" Lagi, perempuan dengan rambut panjang bergelombang itu bertanya.

Wira bingung harus menjawab apa, nyatanya ia bukan teman kedua mempelai dalam arti yang sebenarnya. "Rea," ujarnya asal.

"Oh, temen kantornya, Mas?" Kini perempuan dengan bibir berwarna keunguan yang bertanya.

"Bukan."

Wira cuma menanggapi pertanyaan kedua perempuan itu seadanya, sesekali wajahnya menengok ke samping menatapi punggung istrinya, yang sekarang tengah asyik berbicara dengan sang mempelai wanita.

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang