"Kenapa nggak nginep di sini aja sih, Kak? Udah lama kan kita nggak bobok bareng."
Cintya masih mencoba menghalangi Rinjani pergi, meski sudah berkali-kali Wira mengatakan bahwa akan membawanya pulang ke rumah mereka, bukan ke Semarang. Sehingga, kapan saja adik iparnya itu mau, Cintya bisa mengunjunginya sewaktu-waktu.
"Nginep sini, ya ...?" bujuk Cintya sekali lagi.
Rinjani lantas melirik Wira yang berdiri di samping Bima. "Aku nginep di sini ya, Mas?"
"Sayang, mas masih ada beberapa kerjaan yang harus diselesaiin." Wira maju dua langkah lalu mensejajari sang istri lanjut mengambil tangan Rinjani untuk digenggamnya. Takut kalau-kalau perempuan itu lebih memilih menuruti permintaan Cintya.
"Ya kamu pulang aja sendiri. Biar Rinjani tetep disini," tukas Dian mendukung keinginan si bungsu.
"Ma ...." Wira memelas, memohon pengertian sang ibu kandung yang masih saja bersikap ketus padanya.
Rinjani sampai di kediaman mertuanya tepat pukul empat sore. Dan sesuai yang diperkirakan oleh Wira, semua anggota keluarga Wiranata Kusuma, menyambut baik keputusannya untuk memperbaiki pernikahannya dengan putra sulung mereka. Bahkan Cintya yang ia kira tidak akan memberi restu justru menggumam terima kasih beberapa kali karena ia yang sudah bersedia memaafkan kesalahan Wira. Tapi meski begitu, sikap Cintya terhadap Wira masih belum melunak. Perempuan yang berusia sama seperti Rinjani itu masih menguarkan aroma permusuhan dangan sang kakak.
Lalu di saat Wira mengajak Rinjani untuk pulang setelah jam makan malam, Cintya memaksa agar Rinjani tetap tinggal. Calon janda muda itu menahan langkah Rinjani yang sudah berada di depan pintu utama rumah keluarganya.
Bima merangkul bahu Dian dengan tangan kiri. "Udahlah, Ma ... biarkan mereka pulang. Mama pengen cepet-cepet dapet cucu, kan?" ujarnya merayu sang istri.
"Cucu?" ulang Dian dengan mulut sedikit mengerucut lucu. "Ya udah kamu boleh bawa menantu mama pulang." Kalimatnya tetap saja terdengar ketus.
"Siap, Komandan!" kata Wira terlalu bersemangat, tidak peduli walaupun Dian masih terlihat marah padanya.
Cintya mencebik, kecewa. "Yah ...."
"Yaudah, aku sama Jani pamit pulang dulu, ya ...." Wira mengecup pipi ibunya sekilas kemudian kembali merangkul sang istri.
"Jani pulang dulu Ma, Pa, Dek ...," pamit Rinjani sebelum mengikuti langkah kaki Wira menuju mobil hitam yang terparkir di halaman rumah.
Bersamaan dengan kakak dan kakak iparnya yang melangkah menjauh, Cintya berbalik untuk memasuki istana keluarganya.
Tersisa, sepasang suami istri yang berdiri di depan pintu.
"Dari pertemuan pertama, sebenernya mama udah bisa liat kalau anak Papa itu tertarik sama Rinjani, eh dia pake bikin drama segala." Ketika dirasa anak dan menantunya sudah cukup berjarak, Dian mengajak suaminya berbicara tanpa mengalihkan pandang dari keduanya yang sudah berada di samping mobil Wira. "Tuh kan jadi bucin banget sekarang," tambahnya saat melihat si putra mahkota membukakan pintu untuk sang istri.
"Nurunin siapa coba dia bucin?" komentar Bima sambil mencolek dagu perempuan cantik di sampingnya.
"Ya siapa lagi ... Papanya-lah. " Dian terkekeh sembari melenggang ke dalam.
*****
"Kok gelap?"
Rinjani mendapati rumah mereka dalam keadaan gelap gulita sesaat setelah Wira membuka pintu utama. Ia baru berani melangkah masuk ketika Wira sudah menekan saklar lampu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomansaKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....