Tok ... Tok ....
Minah menurunkan tangan kanannya dari pintu kamar Rinjani. Selanjutnya, perempuan paruh baya yang sudah mengabdi di keluarga Broto Negoro semenjak Rinjani masih bayi itu membuka suara cemprengnya. "Mbak Jani ... makan malam sudah siap," ujarnya setengah berteriak.
Tak berselang lama, terdengar suara Rinjani menyahuti dari dalam kamar. "Nggih, Mbok .... Sebentar lagi Jani kelu ... arr ... kam ... mar ...!"
Asisten rumah tangga yang malam itu mengenakan gamis berwarna marun lekas mengerutkan dahi ketika mendengar suara majikannya yang terputus-putus dan agak ... aneh. Tapi, ia tak mau ambil pusing. Minah kemudian berbalik badan untuk kembali ke markas besarnya di bagian belakang rumah.
"Tebakan yo, ngesuk subuh mesti Mbak Jani metu seko kamar rambute teles."
(Tebakan ya, besok subuh pasti Mba Jani keluar dari kamar rambutnya basah.)
Suara dari rekan kerjanya yang Minah dengar begitu tubuh gempalnya memasuki area dapur kotor. Ada Siti, ibu lima anak yang tahun ini berusia tiga puluh lima tahun sedang mencuci peralatan yang baru saja dipakai untuk memasak. Di sampingnya ada Marni, perawan yang sudah ingin terikat tali pernikahan tapi sayang sekali belum dipertemukan dengan jodohnya.
"Kok iso nebak ngono?" Marni bertanya, tangan perempuan itu lincah mengupas buah yang akan disajikan seusai makan malam.
(Kok bisa mikir begitu?)
Minah mendekati Marni, lalu membantu pekerjaan gadis itu.
Setelah beberapa menit ketiganya larut dalam pekerjaan masing-masing. Mulut Siti kembali gatal ingin memuntahkan ocehannya. "Kowe ora nggateke to, nek Mas Wira mulih rene, mesti Mbak Jani metu kamar rambute teles. "Siti terkikik geli setelah mengakhiri kalimatnya. "Ora mung isuk, kadang awan sore yo ngono. Hahahaha ...," sambungnya diselingi tawa renyah.
(Kamu nggak memperhatikan ya, kalau Mas Wira pulang ke sini, Mba Jani keluar kamar pasti rambutnya basah. Hahahaha ....)
(Nggak cuma pagi, kadang siang atau sore juga begitu.)
"Iya to? Weh kaya nganten anyar yo. Padahal wis meh setaun." Marni mulai memasukkan potongan mangga ke dalam blender. Ia ingat pesan Rinjani saat suami perempuan itu baru saja tiba bersama sang asisten, Rinjani memintanya membuatkan jus mangga untuk dihidangkan ketika makan malam.
(Iya kah? Wah kaya pengantin baru ya. Padahal udah mau setahun.)
"Podo mbahas opo to cah-cah ...." Minah menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tapi tak ayal ia jadi mengingat kejadian beberapa menit lalu di depan kamar Rinjani. Suara aneh itu ... jangan-jangan ....
(Pada ngomogin apa sih.)
"Marni, tolong panggilkan Danu buat makan malam."
Perintah dari Rinjani yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu dapur, membuat Minah menghentikan otaknya untuk berkelana.
"Nggih, Mbak ...," jawab Marni sopan.
"Jus mangganya jangan kebanyakan gula, ya ...," Rinjani berkata ketika melihat potongan mangga dalam blender. "Mas Wira nggak suka yang terlalu manis," sambungnya.
"Nggih, Mbak ...."
Siti mendekati dua rekan kerjanya yang masih berdekatan di dekat meja setelah Rinjani melangkah pergi. Ia kemudian berbisik di tengah-tengah keduanya. "Tenan to ... teles." Lalu, tawanya menggema di udara.
(Bener kan ... basah.)
*****
Sudah satu bulan berlalu sejak Rinjani membatalkan gugatan perceraiannya. Akan tetapi, ia belum berani kembali ke Jakarta. Meskipun ayahnya tidak melarang, namun Suhendi belum juga merestui keputusannya untuk mempertahankan pernikahan. Laki-laki paruh baya itu lebih memilih diam. Sikapnya juga masih sangat dingin terhadap sang menantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomanceKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....