Part 22

93.9K 7.3K 289
                                    




Mas Haryo : Sudah mas daftarkan, tinggal tunggu panggilan sidang.

Lama Rinjani memandangi layar gawainya, meski ia sama sekali tak berniat membalas pesan tersebut.

Keadaan ini terulang lagi, saat di mana ia mulai menantikan proses demi proses yang akan mengantarkan dirinya pada status yang tak diinginkan semua wanita. Gelar janda yang disandangnya dalam usia yang masih sangat muda.

Hanya saja sekarang suasana hatinya sudah tak lagi sama seperti beberapa bulan yang lalu. Ketika itu, rasa sakit karena merasa dibuang justru membuatnya lebih tegar. Ia siap melepas ikatan yang hanya diisi oleh dusta belaka. Namun, kini ... keadaannya jelas berbeda.

Ungkapan cinta Wira, kadang sedikit menyentil hatinya.

Meletakkan kembali ponsel di meja, Rinjani lantas mencoba kembali berkutat pada kertas-kertas yang berisi laporan penjualan bulanan yang tadi sedang dibacanya.

Tiga hari di hitung dengan hari ini, Rinjani bekerja menggantikan orang kepercayaan sang ayah yang dikirim ke Jakarta untuk mengisi kekosongan jabatan yang ia tinggalkan. Lebih gampangnya, mereka bertukar posisi.

Matanya kemudian sibuk memindai angka demi angka yang tertulis dalam kertas-kertas itu, tapi pikirannya bekerja tak sejalan. Bukan deretan angka yang ada di depan matanya yang masuk ke dalam otaknya, melainkan beberapa pertanyaan tentang Wira yang berseliweran tak hentinya. Membuat tumpukan kertas di meja itu belum juga selesai ia periksa. Baru lembar pertama yang terbuka padahal ada puluhan lembar lainnya di bawahnya.

Semenjak malam itu, di mana akhirnya ia tak kuat menahan laju air mata, suaminya tak ia ketahui lagi keberadaannya. Entah masih di Semarang, atau justru sudah pulang ke Jakarta.

Tidak ada pertemuan.

Tidak ada percakapan.

Tidak ada pesan.

Rinjani lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, menimang-nimang, haruskah ia yang menghubungi lebih dulu?

Tapi untuk apa?

Lagipula Wira nanti bisa jadi besar kepala.

Rinjani kembali menaruh benda pipih itu ke tempatnya semula. Ia kemudian menebak-nebak, mungkin saja laki-laki itu sudah kembali kepada seseorang yang akan selalu menyambut dengan tangan terbuka. Mungkin saja Wira memang telah menerima perceraian mereka dengan kelapangan dada.

Iya, mungkin seperti itu. Jadi untuk apa ia memikirkannya? Bukankah ada pekerjaan yang jauh lebih penting?

Menumpukan kedua tangan pada meja, Rinjani lantas menunduk sembari memijit pelipisnya. Sampai suara ketukan di pintu disusul salam setelahnya, membuatnya mendongak.

Perempuan dengan dandanan menor dan pakaian ketat masuk ke dalam ruangannya. "Permisi, Bu, ada tamu yang ingin bertemu. Beliau bilang teman Ibu dari Jakarta."

Sejenak Rinjani mengernyit. Semua teman-temannya ada di Jakarta. Mereka berempat masih sering berkomunikasi lewat grup yang ada dalam aplikasi berwana hijau. Teman yang mana kira-kira?

"Suruh masuk."

"Baik, saya permisi."

Rinjani memandangi sekretaris barunya dengan mata memincing. Pakaian perempuan itu membuatnya risih. Rok hitamnya hanya bisa menutupi setengah paha, kemeja putih dengan belahan dada sangat rendah yang membalut tubuh bagian atasnya. Polesan make up-nya juga terlalu berlebihan. Lipstick merah menyala serta blush on warna pink merona. Bagaimana mungkin orang kepercayaan ayahnya yang ia gantikan betah melihat itu setiap hari.

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang