Kendaraan roda empat yang membawa sepasang suami istri itu berhenti tepat di depan pagar rumah keluarga Broto Negoro kala senja baru saja berganti malam.
Setelah melepaskan seatbelt, tangan kanan Rinjani terulur ke kursi belakang untuk mengambil tas kerjanya. Ia lantas menghadap ke kiri, bersiap turun. Tapi saat hendak membuka pintu mobil, ia merasakan sentuhan ringan di bahunya. Memalingkan wajahnya ke arah pengemudi, Rinjani dapati Wira yang menatapnya lembut.
Laki-laki itu tak mengatakan apa pun, hanya tangan yang tadi berada di bahu Rinjani perlahan merambat ke pipinya.
Keduanya saling diam. Hanya saling berpandangan.
Sampai detik kemudian berganti menit, tangan itu bergerak lembut, mengusap pelan pipi kiri Rinjani dengan ibu jari. Ada lukisan senyum yang Rinjani lihat menggantung indah di bibir Wira, mengalirkan rasa hangat melalui rabaan suaminya itu pada wajahnya.
"Kembalilah ...." Lirih Rinjani mengucap.
Wira terperangah. Bola matanya lekas membesar. Namun, ia tak mampu bersuara, terlalu takut salah memaknai kata.
"Kembali pada kehidupanmu."
Tubuh Wira terkulai lemas di balik kemudi. Harapan yang sedetik lalu membungbung tinggi, kembali harus disimpannya di sudut tersembunyi.
"Bukankah kita sudah sepak—"
Tak selesai kalimat Wira terangkai, sebab Rinjani sudah memotongnya.
"Perusahaanmu sekarat! Bagaimana mungkin kamu masih bisa duduk tenang di sini?" Suara Rinjani meninggi.
Rinjani masih mengingat cerita Bima tentang perjuangan Wira merintis usahanya dari nol. Tidak mudah, Wira harus jatuh bangun sampai mengorbankan masa mudanya.
Setiap hari di tahun pertama usaha itu berdiri, Wira hanya akan mengambil waktu tiga sampai empat jam tiap malam untuk terlelap. Sisanya, benar-benar digunakan untuk bekerja keras. Siang hari Wira lebih sering berada di proyek, memastikan sendiri bahwa semuanya sesuai dengan rancangannya. Malamnya dipakai untuk membuat desain pesanan klien.
Dan sekarang kenapa laki-laki itu seakan-akan tak peduli?
"Aku tahu, meski tubuhmu di sini tapi pikiranmu di sana. Pulanglah ...." Nada Rinjani kembali seperti biasa lagi.
Wira menggeleng lalu menjatuhkan kepalanya ke atas setir bundar. "Aku rela lepasin semuanya demi kebersamaan kita yang nggak lama lagi," gumamnya pelan.
Rinjani memutar pandangannya ke depan, menatap kosong jalanan kompleks yang sunyi sepi. Harus dengan cara apalagi ia membujuk supaya Wira mau pulang. Kebersamaan mereka mestinya tak perlu diistimewakan begini.
Menit berlalu tanpa pergerakan. Keduanya seolah terjebak dalam dua labirin yang berbeda. Tapi sama-sama tak mempunyai jalan keluar.
Tok ... tok ....
Suara ketukan di kaca samping kemudi, lalu mengalihkan perhatian keduanya.
Wajah Haryo yang muncul ketika kaca di sisi kanan telah terbuka, membuat kening Wira berkerut samar.
"Mau berangkat jam berapa, Dek?"
Apalagi ucapan Haryo yang ditujukan untuk perempuan di sampingnya, menjadikan kerutan di dahi Wira kian dalam.
"Dari sini jam sembilan ya, Mas, aku siap-siap dulu."
"Oke," jawab Haryo dengan ibu jari terangkat ke atas, sambil berbalik kembali ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomanceKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....