Part 21

99.2K 8.2K 350
                                    



Pemandangan malam kota Semarang terlihat sangat cantik dari tempat Wira berdiri. Kelap-kelip lampu yang berada di bawah sorotan cahaya bulan yang sedang menunjukkan diri secara utuh menambah kesan gemerlap di malam itu.

Namun sayangnya, keindahan itu tak sedikit pun mampu menghibur Wira yang belum beranjak dari depan jendela kamar sejak satu jam yang lalu. Tatapannya kosong ke depan. Meski semua keindahan tersebut tersaji di depan mata, justru wajah istrinyalah yang ia lihat di sana.

Mengepalkan kedua tangan di sisi-sisi tubuhnya, Wira kembali merasa aliran oksigen ke paru-parunya semakin menipis.

Sesak.

Dalam sekejap, ia kehilangan semua orang yang paling berharga dalam hidupnya. Tidak hanya Rinjani, tapi juga seluruh keluarganya.

Sebelum meninggalkan kediaman Broto Negoro, Bima bahkan sempat melayangkan satu tinjunya yang berhasil merobek sudut kiri bibir Wira.

Cintya menatapnya tajam dan mengatakan kalau adik kecilnya itu sekarang membencinya.

Sedangkan Dian, seakan menganggapnya tak ada ....

Dian adalah perempuan yang paling Wira cintai di dunia ini. Merasakan kasih sayang Dian sepanjang perjalanan hidupnya, membuat Wira merasa menjadi anak paling beruntung di dunia. Tapi hari ini ia telah menyakiti sang ibu tercinta. Melihat Dian ikut terluka karena ulahnya, Wira rasanya ingin sekali mengubur dirinya sendiri, agar menghilang dari bumi.

Dan belum pernah Wira merasa sendirian seperti sekarang. Di masa-masa paling berat dalam hidupnya, biasanya selalu ada mereka yang akan menjadi garda terdepan untuk membantunya. Bahkan dulu, di saat ia tak sengaja melakukan kesalahan besar ketika remaja, Bima dan Dian tak sekali pun pernah menyalahkannya.

Usianya tujuh belas tahun waktu itu. Wira yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, memaksakan diri untuk pergi ke pesta ulang tahun temannya padahal kondisi jalanan sedang tidak bersahabat karena hujan lebat.

Malam itu, Wira tidak bisa mengendalikan mobilnya yang melaju dengan kecepatan tinggi, yang pada akhirnya tak sengaja menabrak seorang ibu yang sedang menggendong balita perempuan di pinggir jalan.

Keduanya kritis saat dilarikan ke rumah sakit. Walaupun setelah menjalani perawatan, mereka bisa diselamatkan, namun kejadian itu meninggalkan traumatis sendiri dalam jiwa Wira.

Bertahun-tahun kemudian, Wira tak berani menyetir mobil sendiri. Selalu merasa ketakutan manakala berada di dalam kendaraan pada waktu malam hari, apalagi jika jalanan tengah dihiasi rintik-rintik air hujan.

Berkat keluarganya-lah Wira sanggup melawan semua ketakutan itu dan menjadi Wira yang baru. Wira yang sembuh dari rasa traumatisnya.

Tapi meski begitu, Wira tak pernah membenci takdirnya. Setidaknya, ia mendapatkan pengalaman berharga dari kejadian buruk itu. Benar kata pepatah, setiap musibah pasti terselip hikmah yang bisa kita ambil sebagai pelajaran.

Sejak peristiwa mengerikan itu, Wira jadi sangat menyayangi anak-anak. Ia merasa lebih hidup ketika melihat senyuman mereka.

Dan demi melukis senyum di bibir seorang gadis kecil bernama Dira, ia menghapus senyuman di bibir semua orang di sekelilingnya.

Sesal.

Itu yang memeluknya sekarang.

Seandainya saja Wira bisa kembali ke masa lalu ....

"Pak ... ini saya bawakan makanan." Suara Danu menyapa gendang telinga Wira. Namun, ia enggan untuk sekedar menoleh.

Danu menaruh satu mangkok soto khas Semarang yang masih mengepulkan asap di atas meja. Pemuda itu lalu berdiri di samping Wira. "Bapak harus makan, Bapak butuh energi untuk berjuang."

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang