Rinjani duduk bersila di atas pembaringan, pandangannya nanar menatap satu benda di hadapan. Benda pipih yang sedari tadi berdering tiada henti. Tangan kanannya lantas terulur ke depan, tapi belum juga mencapai tujuan, si tangan sudah ditarik sang pemilik. Kembali, Rinjani membiarkan ponselnya berdering tanpa jawaban.
Sudah berkali-kali Wira menghubunginya sejak ia pergi bersama sang ayah, tapi tak sekali pun Rinjani menjawabnya. Juga ratusan pesan yang laki-laki itu kirimkan, tak satu pun mendapatkan balasan.
Bip.
Satu pesan masuk setelah dering panggilan dari Wira berhenti.
Buru-buru Rinjani mengambil smartphone-nya pasca melihat bahwa orang yang dimintanya untuk menjadi mata-mata mengirimkan sebuah informasi.
Danu:
Update informasi terkini. Bapak meminta saya untuk memesankan tiket penerbangan ke Semarang malam ini juga. Sekian.Itu adalah pesan kedua yang Rinjani terima hari ini, setelah sebelumnya Danu mengiriminya kabar bahwa Wira membelikan pemuda itu ponsel keluaran terbaru, yang harganya mencapai puluhan juta rupiah.
Rinjani membuang napasnya dengan berat. Matanya kemudian memejam dan sekelebat perkataan sang ayah terngiang.
"Nduk, kowe ki meh pegatan. Ojo nganti niatmu mbantu dekne malah ngabot-ngaboti langkahmu dewe."
(Ingat, Nak, kamu ini mau bercerai. Jangan sampai niatmu buat bantu dia malah menghalangi langkahmu sendiri.)
Benar! Apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Seharusnya memang tidak seperti ini, niatnya adalah mengakhiri bukan justru menikmati.
Menundukkan kepala dengan kedua tangan yang bertumpu pada dagu, Rinjani mencoba membedah hati, dan mencari apa yang sebenarnya ia ingini.
Sebagian hatinya berkata;
Akhiri! Karena semua luka yang Wira beri masih merajai hati.
Sementara sebagian lagi meyakini bahwa cinta yang Wira tawarkan akan mampu mengobati.
Gamang. Rinjani kebingungan sendiri.
Gawai yang kembali ia letakkan di atas ranjang membuyarkan lamunan. Deringnya serupa gedoran pada pintu hati. Ada suara berat dari seorang pria paruh baya yang memintanya untuk tidak membukakan pintu, tapi juga ada dorongan kuat dari dalam hatinya sendiri yang memaksanya untuk memberikan sedikit celah jika memang ia belum sanggup membuka pintunya lebar-lebar.
Meraih ponselnya dengan ragu, Rinjani lebih dulu mengamati foto profil yang tertera di layar. Protret seraut wajah perempuan yang sedang terlelap di samping laki-laki yang sedang tersenyum menghadap kamera.
Tertegun sejenak, Rinjani akhirnya memutuskan untuk menggeser tombol hijau meski perdebatan batinnya belum selesai.
"Kenapa pesan Mas nggak dibales? Telepon Mas juga nggak diangkat?"
Rentetan pertanyaan itu yang Rinjani dapatkan begitu wajah Wira terpampang di layar. Suaminya itu masih mengenakan kemeja kantor. Posisinya sekarang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Wajahnya kusut dan rambutnya terlihat berantakan.
"Aku kecapekan, jadi tidur terus," bohong Rinjani. Ia lantas memundurkan tubuhnya, mengikuti Wira bersandar pada headboard dengan kaki terjulur lurus ke depan.
Wira jelas tahu kalau Rinjani berbohong, tapi ia memilih untuk tidak membahasnya. Yang terpenting sekarang ia bisa melihat wajah sang istri meski hanya lewat video call. Tadinya ia bahkan akan mengingkari janjinya sendiri, berniat untuk menghampiri jika perempuan itu tak menyahuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomansKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....