Part 1

166K 10K 358
                                    




Secangkir kopi masih ada dalam genggaman tangan Rinjani, yang bahkan sudah tidak mampu lagi menyalurkan rasa hangat pada tubuhnya. Kopi itu sudah dingin, tanpa disadarinya.

Sudah sejak dua jam yang lalu, Rinjani duduk di meja makan, sendirian, sambil menggenggam erat cangkir kopi dengan tatapan tertuju pada isinya yang hitam pekat. Sekelam kopi itukah hidupnya sekarang?

Pikirannya tengah berkecamuk hebat.

Menebak-nebak.

Menerka-nerka.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah ia istri kedua dari seorang Arjuna Wiranata Kusuma? Apakah orang tuanya tau? Tapi kenapa mereka semua –termasuk keluarga mertuanya- merahasikan hal sebesar ini darinya? Bukankah ia berhak mengetahui status laki-laki yang hendak dinikahinya kala itu?

Atau ... atau perempuan itu ... istri simpanan? Atau mungkin bahkan tidak dinikahi?

Tapi ... ada gadis kecil cantik diantara mereka. Siapa? Anak suaminya?

Masalah apa yang sedang menimpanya kini?

Ada sesak yang tiba-tiba menyeruak hebat ketika membayangkan jika selama ini kemungkinan ia adalah perempuan kedua. Tapi sungguh, seandainya Rinjani tahu kalau Wira sudah berkeluarga, ia tidak akan menerima perjodohan yang disodorkan orang tuanya. Apapun akan ia lakukan demi menjaga kehormatannya -dengan tidak merusak rumah tangga orang lain-, meski harus membuat orang tuanya kecewa. Rinjani sadar betul, tidak akan ada kebahagian yang bisa dibangun di atas kesedihan orang lain.

Kebahagian?

Rinjani lalu tertawa miris. Apa selama enam bulan ini dirinya bahagia?

Entahlah ... ia wanita bersuami tapi sampai sekarang masih gadis. Tidak pernah ada kontak fisik yang berlebihan dengan Wira, dengan alasan yang selama ini Rinjani yakini sebagai sebuah kebenaran. Mereka masih butuh waktu untuk saling mengenal. Dan butuh cinta untuk penyatuan dua raga.

Cinta yang setiap hari coba ia tumbuhkan di hati suaminya. Rinjani selalu melakukan kewajibannya sebagai seorang istri dengan baik, menyiapkan semua kebutuhan Wira, mengurus rumah, juga selalu memenuhi perut Wira dengan makanan-makanan lezat buatannya. Tapi cinta itu belum juga tumbuh, dan sekarang ia tahu penyebabnya ... ada cinta yang lain yang sudah tumbuh subur dan mengakar kuat di hati suaminya.

Jam di dinding dapurnya menunjukan angka sepuluh malam saat mobil Wira terdengar memasuki garasi rumah mereka. Biasanya pria itu akan sampai di rumah paling lambat pukul tujuh malam, tapi tadi sore Wira mengirimkan pesan kalau harus ada meeting mendadak dengan klien, yang akhirnya diketahui Rinjani sebagai kebohongan pertama Wira. Suaminya tidak bertemu klien, Wira makan malam bersama perempuan-yang mungkin istrinya- dengan anak mereka. Dan Rinjani meyakini ada banyak kebohongan lainnya yang sudah Wira lontarkan sepanjang enam bulan pernikahan mereka.

Jika biasanya Rinjani akan menyambut di depan pintu dengan senyum hangat, kini ia tetap duduk menunduk sembari mengaduk-aduk kopinya.

Setiap derap langkah kaki yang terdengar semakin mendekat, membuat jantungnya berdetak kian hebat. Kenyataan macam apa yang akan dihadapinya sekarang?

"Kamu belum tidur?"

Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban itu keluar dari bibir Wira. Ia menatap Rinjani yang masih sibuk dengan kopinya. Menghela napas panjang, Wira menjatuhkan tubuhnya di kursi yang berhadapan dengan sang istri.

Hening.

Sunyi.

Lima belas menit, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rinjani takut bahkan bisa dikatakan sangat takut, kalau-kalau apa yang akan dikatakan suaminya seperti yang ada dalam pikirkan. Sedangkan Wira tidak tahu darimana ia harus memulainya ....

Terbersit setitik rasa bersalah jika ia harus menyakiti perempuan baik itu, istrinya, istri pilihan orang tuanya. Tapi Rinjani memang berhak mengetahuinya.

"Namanya Ayu dan putrinya Dira," ucap Wira pada akhirnya dengan lirih.

Rinjani seketika mendongak, menatap lurus ke manik suaminya dengan tatapan sayu.

"Dia ... dia kekasihku."

Wira mengatakannya sambil menelan saliva berkali-kali. Ia tahu betul setiap ucapannya akan menyakiti hati sang istri, tapi jelas ini bukan waktunya untuk berhenti, Wira sudah memutuskan dan Rinjani harus mengetahui.

Mengalirlah semua cerita tentang hubungannya dengan Ayu, pertemuan pertama mereka di suatu malam tiga tahun yang lalu ketika Wira tak sengaja melihat perempuan dengan bayi dalam gendongan yang sedang menangis di pinggir jalan. Juga saat ia yakin telah jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap bayi cantik berusia satu tahun itu.

Waktu itu, sudah dua tahun berlalu sejak adik perempuan Wira satu-satunya memilih untuk menikah muda dan langsung tinggal di rumah suaminya, membuat Wira yang begitu dekat dengan Cintya otomatis kesepian, tapi karena kehadiran bayi cantik itulah, harinya menjadi lebih berwarna.

Hubungan mereka bertiga semakin dekat dari waktu ke waktu, yang pada akhirnya membuat Wira merasa jatuh cinta juga pada ibu si bayi.

Namun masalah muncul manakala Wira memutuskan akan menikahi Ayu. Orang tuanya menolak dengan keras. Status Ayu yang merupakan seorang janda beranak satu menjadikannya tidak dapat diterima di keluarga Wiranata Kusuma. Hingga rencana perjodohannya dengan Rinjani terjadi, dan seorang Wira tidak pernah bisa menolak permintaan perempuan yang melahirkannya.

Rinjani adalah perempuan yang sangat dewasa, ia juga mandiri, sangat jauh dari kesan manja dan kekanakan. Jika perempuan-perempuan lain di luar sana akan menangis saat suaminya memilih pisah ranjang di malam pengantin mereka, Rinjani dengan segala pengertiannya justru setuju dan menghargai segala keputusan Wira. Itulah yang membuat Wira merasa kalau Rinjani akan baik-baik saja.

Tapi apa yang baru saja terjadi? Wira sudah berhasil membuat satu tetes air turun dari netra sebening telaga. Untuk pertama kalinya, Wira melihat Rinjani menangis.

Wira tertunduk lesu seusai cerita panjangnya tentang Ayu dan hubungan mereka. Ia tidak berani menatap Rinjani lagi. Perempuan baik itu terluka ....

"Lalu?" Rinjani bertanya sambil menahan tangis, bulir pertama yang jatuh sudah ditepisnya kasar.

Wira masih menunduk, ia lantas berucap lirih, "Aku akan segera menikahinya."

Rinjani memejamkan matanya, rasa sakit di hatinya sudah menjalar ke seluruh tubuh, lalu kalimat berikutnya dari Wira seketika itu juga langsung membuat hatinya mati rasa.

"Aku akan mengurus perceraian kita, maaf ...."

Pernikahan yang diimpikannya akan bertahan seumur hidupnya, nyatanya hanya berjalan seumur jagung. Berusaha mengurai sesak di dada, Rinjani menatap suaminya dengan tatapan datar. "Besok aku pindah ke apartemen," ujarnya tanpa rasa.

Rinjani berdiri setelah mengatakan kalimat terakhirnya, berjalan menjauhi meja makan, meninggalkan suami dan kopi pahit yang belum sempat disesapnya. Ia tidak butuh kopi itu lagi sekarang, karena hidupnya sudah lebih pahit dari kopi favoritnya.

Sementara Wira melirik punggung Rinjani yang menghilang di balik dinding ruang tengah sambil mengepalkan kedua tangannya kuat.

Wira yakin ini keputusan yang paling baik untuk semuanya. Untuknya, untuk Ayu, untuk Dira, juga untuk Rinjani ....

Perempuan baik itu berhak bahagia ....


^^^^^

28 Nov 22





Di part sebelumnya ada yg nanya, ini cerita bakal dipost sampe tamat enggak? IYA, ges. Aku post di sini sampai tamat, TAPI ... versi originalnya yah. Kalo yg di KK atau KBM-app, udah banyak tambahan sana-sini. Jadi, kalo kalian liat part-nya beda, jangan bingung.

Hapi membaca ... jan lupa pollo akika ...!

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang