Jika ada makhluk Tuhan yang mengatakan bahwa cinta bisa mengalihkan dunia seseorang, mungkin memang itu benar adanya. Seperti yang sekarang sedang terjadi pada sang Arjuna. Untuk beberapa saat, ia tak mampu mengalihkan tatapannya dari wajah cantik istrinya.
Apalagi Rinjani yang tersenyum sangat manis membuatnya seolah terhipnotis. Ia betah berlama-lama tanpa peduli pada sekitarnya. Wira bahkan sempat menyelipkan rambut Rinjani yang menghalangi pandangannya ke belakang telinga ketika perempuan itu tiba-tiba terkekeh sendiri, lalu menangkup kedua pipi mulus istrinya dan mencubitnya gemas.
Satu menit diabaikan membuat Ayu tak tahan. Dirinya dan Wira cuma terpisah selebar meja, tapi kenapa seolah seluas samudera. Wira hanya butuh satu lirikan untuk melihatnya, bukan terpaku pada satu titik di depan mata.
"Mas ...," panggil Ayu lirih.
Merasa sumber suara itu tidak berasal dari bibir yang dari tadi ditatapnya, Wira menyadari bila tadi sang istri tidak duduk sendiri, ada perempuan dengan rambut lurus panjang menemani Rinjani.
Menolehkan pandangannya, Wira terkejut luar biasa, matanya mengerjap pelan sebelum lebih menfokuskan penglihatannya. Ia kembali melihat Rinjani yang tengah tersenyum sinis, dengan tatapan bertanya-tanya, kemudian mengubah posisi duduk yang sebelumnya menyerong ke arah sang istri.
"Dia bilang ada yang mau dibicarain sama kamu. Jadi aku pertemukan kalian. Aku baik, kan?" kata Rinjani pada Wira tanpa melepas pandangannya dari perempuan yang sekarang berani menatapnya tajam.
"Ya, aku pikir kita memang harus bicara, Yu." Wira menautkan jemari tangan kirinya pada jemari kanan sang istri, yang perempuan itu taruh di atas pangkuan. "Katakan apa yang ingin kamu katakan," tutur Wira datar.
Ayu kebingungan, bagaimana ia bisa mengatakan maksudnya jika ada Rinjani di sana.
"Bukannya kamu yang minta waktu buat ketemu, kenapa sekarang diam? Anggaplah kalian cuma berdua." Rinjani geram menonton Ayu yang bungkam.
Menunduk dan menutup matanya sejenak, Ayu memunculkan semua keberaniannya ke permukaan. Selama ini, Wira tak pernah mau mengangkat panggilan telepon darinya. Juga pesan-pesan yang dikirimkannya tak berbalas meski atas nama Dira. Jadi mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki. "Mas ... kembalilah ... jangan lagi mengatasnamakan rasa bersalah buat ninggalin kami," ujarnya dengan nada memelas.
Rasa bersalah, alasan itu yang Ayu yakini menjadi satu-satunya penyebab Wira meninggalkannya. Ayu menutup mata pada apa yang disaksikannya saat laki-laki itu datang. Menutup telinga pada lembut suara Wira menyapa istrinya. Membutakan mata hati pada apa yang ia rasakan terhadap tulus sikap Wira untuk Rinjani. Ia tetap pada pendiriannya bahwa cinta Wira masih untuknya.
Rinjani melirik Wira tajam, tapi suaminya itu justru terlihat sangat tenang. Pelan, ia merasakan ibu jari Wira mengusap punggung tangannya.
"Kamu salah. Ini bukan tentang rasa bersalah. Aku memang mencintai Rinjani." Wira menanggapi tanpa keraguan sedikit pun atas pertanyaan mantan kekasihnya.
Ayu menggeleng berulang-ulang. "Kamu bohong ...," desisnya pelan.
"Maaf ... aku salah pernah ngasih kamu harapan yang terlalu besar." Nada suara Wira melembut. "Bukan maksud aku menyakiti kamu, tapi perasaan nggak bisa diatur, kan?!"
"Jangan gini, Mas ...," mohon Ayu dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih cinta sama aku," lirihnya kemudian nyaris tak terdengar.
Giliran Wira yang menggeleng tegas. "Aku cuma cinta istriku, Yu ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Dusta (Tamat)
RomantizmKetika dia yang menikahimu, memilih rumah yang lain untuknya pulang ....