Part 9

107K 9K 514
                                    



Bunyi hair dryer terdengar nyaring saat Wira keluar dari kamar mandi. Ia sudah berpakaian lengkap, terlihat santai menggunakan kaus berwarna abu-abu dipadukan dengan celana jeans warna serupa. Menghampiri istrinya yang sedang mengeringkan rambut di meja rias, Wira berjalan sambil mengusap rambut basahnya pakai handuk.

"Kamu mau pergi?"

Penampilan Rinjani sudah rapi, kemeja putih dan celana kulot sepanjang mata kaki telah membungkus tubuh tingginya. Wajahnya juga sudah dibubuhi make up tipis, bibirnya yang merah alami makin merona karena dipoles lipstick berwarna pink.

Wira salah fokus. Matanya terus-terusan memandangi bibir indah Rinjani. Bagaimana bibir itu bisa begitu menggodanya semalam. Membuatnya tetap terjaga sampai jam dua dini hari hanya untuk membayangkan rasa dari bibir milik istrinya itu.

Untung saja akal sehatnya masih bekerja dengan baik, jadi ia masih sanggup menahan diri untuk tidak mengecupnya. Wira tidak ingin bertindak layaknya maling yang mencuri satu kecupan dari bibir istrinya sendiri. Sampai akhirnya ia baru bisa terlelap setelah membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.

"Aku ada janji sama dokter." Rinjani menoleh, lantas mendadak mengerutkan kening lantaran melihat ekspresi Wira yang memandanginya dengan aneh. Tatapan mata Wira kosong dan mulut laki-laki itu sedikit terbuka.

Suara Rinjani membuat Wira menyingkirkan bayangan kotor dari dalam kepalanya. Ia berdeham, berusaha menghilangkan gugup, kemudian berjalan ke samping pintu kamar mandi untuk menaruh handuk kotornya di keranjang cucian.

"Berangkat sekarang?" tanya Wira santai seusai rasa gugupnya menghilang terbawa angin.

Rinjani yang sedang menyisir rambutnya langsung menengok ke belakang. Suaminya tampak tengah memakai jam di tangan kiri.

Merasa diperhatikan, Wira melihat ke arah Rinjani dengan heran. "Ada apa?"

"Maksudnya kamu mau nganterin?" Rinjani menjawab pertanyaan Wira juga dengan sebuah pertanyaan.

Balik menghadap cermin, tangan kanan Rinjani memasang jepit rambut kecil di bagian poni sebelah kiri.

"Ya." Wira menjawabnya dengan tegas. Ia lekas menghampiri istrinya setelah menyimpan ponselnya di saku celana.

"Ini hari Sabtu," sahut Rinjani. Ia seolah masih tak percaya dengan pendengarannya, karena memang ini merupakan kali pertama suaminya itu menawarkan diri menemaninya pergi.

"Ya aku tau, makanya hari ini aku nggak ke kantor."

Sepasang suami istri itu hanya bekerja dari Senin sampai Jumat.

"Ini weekend dan biasanya setiap weekend, kamu selalu pergi ninggalin aku sendirian di rumah, yang selalu kamu bilang ada urusan pekerjaan." Ah, Wira mengingatkan Rinjani pada hari-hari liburnya yang ia habiskan sendirian di rumah dengan segudang kebosanan. Kadang ia memang bertemu dengan ketiga sahabatnya, tapi jelas tidak bisa setiap weekend mereka melakukan janji temu. Jelas, karena semuanya mempunyai kesibukan masing-masing.

Seusai membuang napas panjang, Rinjani melanjutkan kembali kata-katanya. "Dan sekarang aku tau ... kamu pasti pergi menemui mereka," serangnya pelan tapi tepat sasaran.

Berulang kali kata-kata Rinjani berhasil menghadirkan sebuah penyesalan di hati Wira. Sekarang ... ada beribu kata seandainya yang memenuhi isi kepala laki-laki itu. "Jani ... aku—"

Belum sempat Wira menyelesaikan kalimatnya, Rinjani sudah menyela. Tidak! Rinjani tidak butuh semua ungkapan rasa bersalah dari suaminya. "Aku pergi sama Endy, bentar lagi dia jemput."

Terikat Dusta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang