PART 38 : Momen Termanis

693 87 36
                                    

"Bagaimana dengan anak gold class lain, bu?"

Bu Indri menggeleng lirih. "Sekolah kita  membawa kekalahan. Indonesia menang di juara 3 di beberapa bidang, tapi bukan dari sekolah kita."

Sejak dua hari aku dirawat di rumah sakit, ternyata tanpa kuduga kepala sekolah mengirim Bu Indri ke Singapura untuk mengurusiku langsung di sini, menggantikan kedua guru pembimbing itu yang sudah pulang dan menjalani hukuman karena pelaporan oleh komite pelaksana olimpiade.

Segala pertanyaanku terjawab olehnya. Termasuk berita tentangku yang membludak di media, karena kejadian kemarin, membuat pengaruh besar bagi SMA Bina Bakti yang kini mendapati kritik habis-habisan oleh masyarakat luar atas kelalaian membimbing  sampai tidak memerhatikan kesehatanku, katanya.

Berbanding terbalik dengan bayanganku, mereka tidak menyalahkanku atas masalah yang menimpa nama baik sekolah, entah itu karena aku menyabet juara 1, aku tidak tahu. Yang pasti SMA Bina Bakti menunjukkan kepeduliannya padaku hari ini.

Kepala sekolah tengah sibuk berkorensi pers bersama koleganya di sana. Dan yang berita kudapat dari Bu Indri, kedua guru itu dipecat dan mendapat hukuman sosial.

Menghela napas, aku mulai membuka ponselku. Tidak terlalu memusatkan pikiran pada mereka. Bersyukur bahwa kedua guru itu sendiri yang tertelan oleh kata-katanya, mengingat perlakuannya yang tidak senonoh padaku. Sungguh rasanya darahku mendidih sampai saat ini, mengingat aku tidak bisa membalas mereka tapi dengan adanya ini aku bisa bernapas lega. Kalian bisa mengatakan aku kadang baik ataupun jahat. Nyatanya aku hanya manusia biasa seperti kalian yang juga bisa merasakan amarah.

Terus meng-schrool beranda internet, membaca seluruh artikel dan komentar beritaku tanpa henti. Terlihat banyak sekali orang yang peduli padaku karena tertarik dengan masalah ini.

"Saat melihat Nindy Septiana secara dekat, saya sempat terkaget karena dialah satu-satunya murid yang memiliki lingkaran hitam di matanya."

"Hebat banget ya gurunya itu. Di saat sakit mereka berdua cuman bisa marahin muridnya. Kalau aku jadi Nindy mending aku tampar balik."

"Nindy Septiana adalah anggota olimpiade satu-satunya yang terlihat sakit di antara 200 orang lainnya. Dan dia memang berhak mendapatkan medali emas atas perjuangannya."

"Eh, katanya dia dari desa gitu kan ya? Dia temen sekolahnya sepupu gue di sekolah dulu. Katanya Nindy pernah menang se-provinsi. Hebat sih, cuman dia miskin, suka dagang kue di sekolah."

"Hebat banget sih bisa masuk SMA Bina Bakti ya ampun. Yang jadi orangtuanya auto bangga. Orangtuanya siapa sih, undang ke TV dong!"

Itulah kalimat yang terpampang dengan jelas saat membuka komentar-komentar pada artikel yang dipublikasikan beberapa jam yang
lalu, mewawancarai bagaimana reaksi mereka saat melihatku berdiri seperti mayat saat itu.

Serta penasaran bagaimana kehidupanku dulu sebelum bersekolah di Jakarta. Terlebih siapa orangtuaku, tak luput dari pencarian mereka. Sedikit khawatir jika mereka malah mendapat berita bahwa sebenarnya aku adalah anak haram pembawa sial dari Pak Aldy, seorang mahasiswa kedokteran terpopuler pada masa itu, dan hanya tidak sengaja melakukan hal terlarang, bersama gadis miskin berstatus siswi SMA di desa terpencil. Namun nyatanya dari pengakuan Budhe, aku adalah anak yang lahir dari ikatan pernikahan yang sah di mata agama. Anak haram yang selama ini orang-orang tuduhkan dari kandungan Ibu bukan aku, bukan Nindy Septiana. Melainkan anak pertama mereka, Salsa Vilokezia, yang kini hidup bahagia bersama orang-orang tercintanya. Gadis itu adalah akar masalahku yang sesungguhnya. Gadidis yang sempat kupanggil dengan sebutan Kakak saat itu.

Aku menggigit bibirku yang gemetar. Perasaan marah itu tentu, namun pada siapa? Ya, sejenak aku berpikir bahwa ternyata aku marah pada ketidakadilan. Dan pada akhirnya ketidakadilan itulah yang membuatku terlihat buruk di mata orang-orang.

Cause I Meet You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang