06. Sahabat
*****
Nyatanya, sahabat bukan tentang seberapa lama kita bersama, tapi tentang seberapa jauh kita saling menerima dan memahami kekurangan masing-masing.
-Zeline Jazzalyn-
*****
Hari ini adalah hari Minggu. Seperti biasanya, orang-orang pada hari Minggu akan menikmati sepanjang hari di kamar atau di kasur tercinta. Sama halnya dengan Zeline. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi dan gadis berambut hitam legam itu baru saja bangun dari tidurnya. Zeline menguap lebar tanpa menutupnya. Zeline merentangkan kedua tangannya lalu tangannya beralih mengucek-ucek matanya. Pagi hari yang dingin. Padahal matahari sudah muncul dari tadi. Tapi Zeline hanyalah manusia biasa yang seperti kebanyakan orang lainnya. Zeline adalah gadis pemalas. Zeline kembali memeluk gulingnya berniat untuk tidur lagi. Namun suara bariton sang ayah membuatnya mau tak mau harus bangun.
"Apa sih yah?" tanya Zeline berusaha untuk duduk namun tetap saja tubuhnya kembali ambruk ke kasur dengan mata yang hampir tertutup.
"Bangun Zel! Jangan jadi gadis pemalas!"
"Ck!" Zeline berdecak kesal lalu dengan amat terpaksa untuk duduk namun dengan mata yang masih terpejam.
Pras menggelengkan kepalanya pelan. "Zel buka matanya," ucapnya menggoyangkan tubuh Zeline agar anak gadisnya itu sadar.
Zeline membuka matanya sedikit. Sangat malas. "Apa sih yah?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Ayo ikut ayah jogging."
Zeline membuka matanya sempurna. "Nggak ah. Zel mau bobok cantik," ucapnya bersiap tidur kembali. Namun Pras kembali menahannya.
"Ayo Tante Wina sama Alysa udah nunggu di bawah."
Raut wajah Zeline berubah menjadi datar dan dingin. "Males."
Pras menghela napasnya. "Zel lihat ayah." Zeline hanya mampu menurutinya. Sorot mata itu memancarkan rasa kecewa didominasi sedih. Zeline jadi tidak tega. "Kapan kamu mau terima Tante Wina dan Alysa? Sampai kapan kamu bersikap acuh dengan mereka? Ayah cinta Tante Wina Zel."
Zeline hanya mampu bungkam. Jujur saja ia juga merindukan sosok wanita bernama ibu. Tapi egonya terlalu tinggi. Zeline hanya menganggap ibunya adalah bundanya yang sudah tidak ada. Tidak ada yang lain. Pras duduk di samping Zeline. "Ayah tahu kamu belum bisa menerima kepergian Bunda. Tapi coba bangkit Zeline. Ada Tante Wina. Apa kurang perhatian Tante Wina ke kamu?"
Zeline menoleh. "Zeline nggak tau. Zeline butuh waktu."
Hanya itu yang mampu Zeline ucapkan. Jika bisa ia ingin mengungkapkan pada Pras bahwa ia tidak kehilangan lelaki itu. Ia hanya ingin kasih sayang Pras hanya untuknya bukan untuk orang lain. Zeline egois? Ya Zeline akui itu. Zeline melakukan semua ini hanya semata-mata agar tidak kehilangan ayahnya. Jujur saja Zeline juga sedikit merasa bersalah pada Pras. Zeline juga memikirkan kebahagiaan ayahnya. Namun kembali pada egonya. Seorang Zeline memiliki ego yang sangat tinggi.
"Yaudah ayah paham kalo gitu ayah keluar dulu."
Pras mengelus rambut Zeline yang acak-acakan sejenak lalu setelahnya pria paruh baya itu keluar dari kamar sang anak dengan raut wajah kecewa. Zeline memejamkan matanya. Rasa bersalahnya pada sang ayah makin menjadi. "GUE BENCI! GUE BENCI MEMILIH! GUE BENCI DIHADAPKAN PADA PILIHAN! ARGHHH!"
*****
Pandangan mata Zeline kosong. Zeline sudah siap dengan pakaian santainya. Pagi ini ia akan pergi ke apartemen Stela. Memang Stela tidak serumah dengan kedua orangtuanya. Stela memilih hidup sendiri berpisah dengan kedua orangtuanya. Dan jangan berpikir jika Stela mendapat uang dari kedua orangtuanya. Stela memiliki cafe sendiri. Hasil dari tabungannya sedari kecil. Zeline akui Stela cukup dewasa. Hanya saja gadis itu agak sedikit melenceng dalam pergaulan. Buktinya saja gadis itu sudah melakukan yang tidak-tidak dengan Ansel, pacar Stela.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLIN-PLAN [END]
Teen Fiction📌 Cerita sudah terbit, part tidak lengkap. 📌 Direvisi di word. 📌 Versi Wattpad tidak direvisi. 📌 Masih banyak kata-kata yang tidak sesuai PUEBI atau KBBI. 📌 Alur masih belum tertata rapi. 📌 Beberapa quotes dalam cerita diambil dari berbagai su...