Z : Haruskah?

1K 135 28
                                    

21. Haruskah?

*****

Mencintaimu ternyata tidak semenyenangkan yang ku pikirkan.

*****

Stela mengusap punggung Zeline yang bergetar. Jujur ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Zeline. Yang menjadi pertanyaan Stela sekarang adalah bekas ciuman siapa yang ada di leher Zeline. "Lo habis ena-ena sama siapa?" tanya Stela gemas.

"HUAAAA!"

Stela kalang kabut kala tangis Zeline malah semakin pecah. "Eh eh gue salah ngomong ya? Jangan nangis dong," kata Stela.

"Hiks, gue benci dia. Dia brengsek hiks. Gue takut hamil Stela, gue takut."

Stela mengerutkan dahinya. "Gimana lo bisa hamil kalo lo ena-ena aja nggak pernah?"

"GUE KEMARIN ENA-ENA SAMA JAZZTIN! PUAS LO?!"

Zeline menjadi gemas sendiri. Ia kira pergi untuk menenangkan diri ke apartemen Stela adalah hal yang baik. Nyatanya sahabatnya ini begitu menyebalkan. Namun tak urung ia juga lebih tenang berada di samping Stela. Gadis itu punya cara sendiri untuk membuatnya lebih tenang. Walau dengan cara menyebalkan.

"Nah gitu dong senyum, jangan nangis. Lo kalo nangis kek bocah."

Zeline menghembuskan napasnya kasar. "Iya deh iya."

"Cerita apa yang terjadi sama lo biar gue tau. Jangan datang-datang nangis kayak orang gila," kata Stela membuat Zeline menelan salivanya susah payah. Stela terlihat seperti mak-mak yang sedang memarahi anaknya. Garang dan seperti ingin memakan dirinya. Rawr!

Akhirnya Zeline menceritakan apa terjadi dengan dirinya kemarin malam. Stela mengangguk mengerti. "Terus sekarang lo gimana? Marah? Benci? Kecewa? Atau apa?"

"Marah pasti. Benci? Mungkin iya. Kecewa itu pasti. Sedih karena gue udah ngecewain ayah. Dan yang pasti gue bingung. Kenapa di saat gue nyaman sama seseorang, kenapa gue harus di kecewakan?"

"Cinta lo rumit. Sekarang gue mau tanya, lo masih berharap sama Keano? Tapi kenapa lo juga cinta sama Jazztin? Kalo gue tanya, lo pilih Keano atau Jazztin siapa yang lo pilih?"

"Nggak dua-duanya."

"Kenapa? Karena lo cinta keduanya? Itu alasan lo? Basi."

"Bukan. Bukan itu alasan gue. Gue sadar cinta Keano itu hanya untuk Alysa bukan gue, dan cinta gue ke Jazztin itu sekarang udah berubah jadi benci."

"Lo marah dan kecewa bukan benci."

*****

"Habis dari mana lo semalaman nggak pulang? Ngejalang heh?!"

Zeline meringis pelan kala cengkraman Kevin semakin kuat. "Lepasin," katanya lirih membuat Kevin melepaskannya kasar.

"Lo paham nggak sih Zel, kita itu cuma mau yang terbaik buat lo! Lo ngeyel ya dibilangin! Apa susahnya diam di rumah dan belajar sih?!"

Zeline diam. Semuanya kacau. "Maaf," kata Zeline.

Kevin berdecih. "Lo pikir kata minta maaf bisa buat nilai lo baik? Lo pikir bisa bikin om Pras tenang heh? Lo lihat bokap lo, buka mata lo lebar-lebar. Om Pras sayang sama lo, dia khawatir lo nggak pulang. Ngotak dong!"

Bungkam. Zeline mematung. Kevin benar, ia egois. Ia tak memikirkan perasaan Pras dan keluarganya. Ia hanya mencari kesenangannya sendiri. Ya ia egois.

"Kenapa diem lo?! Bisu?!" sinis Kevin.

"Terus gue harus apa? Nyangkal kata-kata lo? Percuma."

Zeline berjalan menuju kamarnya tanpa menghiraukan tatapan tajam dari Kevin. Biarlah, ia hanya ingin sendiri. Zeline merebahkan tubuhnya. Matanya mulai menutup menikmati suara rintik hujan yang perlahan mulai deras.

PLIN-PLAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang