Bagian 7

2.9K 111 1
                                        

Sudah supuluh jam aku berada di rumah Ummi Arifah, jujur aku sangat tidak nyaman berada di tempat ini. Aku memutuskan untuk berdiam diri di dalam kamar, aku enggan keluar dari dalam kamarku. Jama'ah lima waktu yang selalu aku lakukan ketika di rumah ini pun hari ini tidak aku lakukan, karena aku lebih memilih sholat sendiri di dalam kamarku.

Setelah sholat isyak, sekitar jam delapan malam, ku dengar suara Ning Azna memanggilku dari luar kamar, dia mengetuk pintu kamarku, dan memintaku untuk segera keluar. Segera aku beranjak dari atas sajadahku, karena saat itu aku memang masih asyik bercengkrama dengan butiran-butiran tasbihku, ku buka pintu kamarku dan ku lihat Ning Azna dengan senyum manisnya menyapaku.

"Ayo makan malam dulu! Sudah di tunggu sama Abah dan Ummi!" Ajak Ning Azna padaku.

"Iya Ning." Jawabku sembari membuka mukenahku dan merapikannya, dan setelah itu mengikuti langkah Ning Azna menuju ruang makan.

Ku lihat di ruang makan sudah berkumpul keluarga besar Kiayi Masykur. Ada Gus Ahmad suami Ning Azna, ada Gus Azka suami Ning Khilma, dan Gus Ashfa anak ragil Kiayi. Tampak ummi Arifah dan Ning Khilma pun ada diantara mereka. Dan aku yang baru datang, dengan sopan duduk disebelah Ning Azna dan disebelah Ning Khilma.

"Besok aku kembali ke kampus." Kata Gus Ashfa di tengah-tengah keheningan makan malam keluarganya.

"Looo... Kok cepat sekali? Bukannya kemarin kamu bilang kalau urusan skripsimu sudah selesai?" Tanya Ummi Arifah.

"Minggu depan aku ada jadwal di rumah sakit Ummi, aku kan sudah pernah bilang sebelumnya, kalau setelah ini aku ada tugas pengabdian di rumah sakit." Jawabnya. "Mungkin selama pengabdian aku akan jarang pulang." Lanjutnya.

"Kalau sudah pengabdian, berarti kuliahmu sudah selesai, kalau begitu Abah akan segera memilih tanggal pernikahan yang tepat buat kamu dan Hubby." Sahut Kiayi Masykur.

"Menika?" Tanya Gus Ashfa.

"Iya. Biar kamu lebih punya tanggung jawab. Apalagi kalau ada istri di rumah." Jawab Kiayi Masykur.

"Iya, betul Abahmu, segera di halalkan aja ya bah?" Sahut Ummi Arifah dengan tersenyum tipis melirik Gus Ashfa.

"Aku masih belum bekerja, masih belum punya penghasilan, bagaimana bisa menikah kalau belum bisa menafkahi istriku." Jawab Gus Ashfa.

"Tidak usah risau soal itu. Abah punya kebun kopi lima belas hektar, lima hektar punya Ahmad, lima hektar punya Azka, lima hektar lagi punya kamu. Dan Abah rasa itu cukup untuk menafkahi istrimu sebelum kamu punya pekerjaan." Sahut Abah.

"Aku ingin nafkah yang aku berikan itu hasil keringatku bah, bukan uang dari Abah." Jawab Gus Ashfa.

"Looo... itu bukan uang dari Abah, hasil kebun kopi itu adalah milikmu, karena kebun itu menang bagianmu." Jelas Abah. "Dulu kakakmu Ahmad dan Azka saat menempuh pendidikan S2nya di Kairo juga belum bekerja, mereka tetap berani menikah, dan menggunakan hasil kebun kopinya itu untuk menafkahi istrinya. Dan sekarang setelah kakak-kakakmu ini sudah bekerja, mendapatkan penghasilan yang lebih dia sama sekali tidak pernah menggunakan hasil kebun kopinya, semua hasil kebun kopinya itu disodakohkan untuk perkembangan pendidikan di pesantren ini. Dan besok kalau kamu sudah bekerja, memiliki penghasilan sendiri, kamu juga bisa seperti kakak-kakakmu, mensodakohkan semua hasil kebun kopimu untuk pendidikan di pesantren ini." Nasehat Abah panjang lebar.

"Iya, betul Abah, menikah itu menyempurnakan agama, calonnya juga sudah ada, kenapa harus di tunda-tunda, lagi pula setelah pengabdian nanti kamu juga bisa langsung bekerja, klinik sudah punya, tinggal kamu kembangkan saja. Kalau kamu ingin kerja di rumah sakit nanti bisa kakak usahakan." Tambah Gus Azka.

Gus Ashfa terlihat menghela nafas panjang, sepertinya nafsu makannya pun berkurang. Kata-kata Abah dan kakaknya di meja makan seketika  membuatnya enggan menyentuh makanan yang telah dihidangkan. Jujur aku merasa tidak enak melihat pemandangan di meja makan malam ini.

Aku beranjak dari kursiku berpamitan untuk ke kamar mandi, karena memang aku ingin buang air, aku menuju kamar mandi yang terletak di dapur, tempat biasa aku membantu Ning Azna dan Ummi Arifah memasak.

Dan saat aku keluar dari kamar mandi, ternyata Gus Ashfa  juga ada dalam ruangan itu. Sepertinya dia habis mencuci tangannya di wastafel yang ada di dapur. Jantungku berdetak saat berpapasan dengannya, mata putra bungsu Kiayi Masykur itu sangat dingin menatapku, ku coba mengungkapkan isi di hatiku saat aku berpapasan dengannya.

"Aku minta maaf, aku sudah berusaha menghentikan perjodohan ini, namun aku juga tak mampu menentang keputusan Abahku!" Kataku padanya.

Ku lihat dia hanya terdiam menatapku dengan mata sayu tanpa sepatah jawaban, dan kemudian melangkah meninggalkanku tanpa sebuah pesan.

Sungguh sikap dingin calon dokter muda itu membuat batinku risau, dan sungguh aku pun tak ingin berada dalam situasi yang membingungkan seperti ini. Jika aku memutuskan pergi orang tuaku akan murka, dan mungkin beliau akan menyebutku anak durhaka, jika aku memilih bertahan batinku teramat tersiksa karena harus selalu menghadapi sikap dingin dan acuh seorang pria yang orang tuaku pilihkan sebagai calon imamku.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang