Malam ini Gus Ashfa berpamitan kepada keluarganya kalau dia hendak kembali ke kampusnya. Umminya berpesan agar dia lebih sering pulang karena saat ini sudah ada aku sebagai istrinya di rumah ini.
"Kalau bisa satu Minggu sekali pulang, kasihan Hubby!" Kata Ummi Arifah saat dia berpamitan pada keluarganya di meja makan.
"Iya, InsyaAllah." Jawabnya lirih, seraya mencium tangan Umminya dan kakak-kakak iparnya, karena saat itu yang ada di meja makan hanya Ning Khilma, dan Ning Azna, sementara kedua kakak laki-lakinya dan Abahnya sedang ada kewajiban mengajar di dalam pesantrennya.
Setelah mencium tangan Ummi dan kakak iparnya Gus Ashfa pun segera melangkah keluar menuju garasi rumahnya, dan dengan ragu aku pun mengikuti langkahnya, berharap dia memberikan tangan kanannya yang bisa aku cium. Dia pun menoleh ke arahku saat hendak masuk ke dalam mobil Honda jazz warna putihnya.
"Aku pergi dulu." Katanya, seraya masuk ke dalam mobilnya dan memasang sabuk pengaman sembari berlalu meninggalkanku.
Aku tersenyum tipis mengiringi keberangkatannya, meski tanpa sebuah cium tangan tetap aku kirimkan doa untuknya, agar dia selalu sehat dan lancar dalam menjalankan program profesinya.
Kini sudah hampir dua Minggu Gus Ashfa meninggalkan rumah ini, selama dia pergi aku masih belum pernah mendapatkan kabar darinya, aku tidak pernah menerima telepon darinya, atau pun menerima kabarnya lewat pesan WhatsApp. Padahal yang aku tahu dia sering sekali menelpon Umminya.
Aku merasa bingung harus bersikap apa, ingin sekali aku menghubunginya terlebih dahulu, namun rasanya aku segan dan malu. Akhirnya kubiarkan hubunganku dengannya tetap seperti ini. Aku ikuti pesannya agar aku konsentrasi dengan kuliahku, dan itulah yang aku lakukan. Aku fokus dalam pendidikanku dengan tidak memikirkan sikapnya padaku, karena jujur hal itu jauh membuat hatiku lebih tenang.
Dan kini sudah hampir satu bulan namun Gus Ashfa masih belum pulang, aku teringat saat dia mengatakan padaku bahwa sebelum program profesi dan semuanya benar-benar selesai dia akan jarang pulang. Ya aku memahami akan hal itu, dan aku mencoba untuk tidak memikirkannya, meski sampai saat ini dia pun belum pernah menghubungiku. Aku tepis segala rasa gundah di hatiku tentangnya, aku kembali fokus dengan pendidikanku, dan aku putuskan untuk tidak memikirkan masalah dalam rumah tanggaku ini.
Satu bulan pun telah berlalu, aku mendengar Ummi Arifah sedang berbicara dengan Gus Ashfa melalui telpon di ruang tengah keluarga ini.
"Kapan kamu pulang? Ini sudah masuk bulan Ramadan, kasihan Hubby!" Ku dengar Ummi Arifah meminta putra bungsunya itu untuk pulang. Entah apa jawaban dari Gus Ashfa kemudian, namun setelah itu Umminya menjawab "iya nanti ummi sampaikan."
Tidak lama setelah itu ummi Arifah pun memanggilku dan menyampaikan padaku tentang permohonan maaf Gus Ashfa padaku kalau dia masih belum bisa pulang, dan InsyaAllah lebaran nanti baru bisa pulang.
Ya, kini lebaran itu pun tiba, seperti janjinya pada saat malam takbir Gus Ashfa sampai di rumah ini, pelukan kangen dari Ummi Arifah pun tercurah saat dia menyambut kedatangan putra kesayangannya itu.
Aku yang hanya dari kejauhan melihat kemesraan meraka tiba-tiba di panggil oleh Ummi untuk medekat.
"Hubby, sini! Suaminya di sambut!" Kata Ummi Arifah dengan melambaikan tangannya padaku.
Aku pun mendekat kemudian meraih tangan kanan Gus Ashfa untuk aku cium. Setelah itu ku bawakan tas ransel yang dipegangnya untuk aku bawa masuk ke dalam kamar kami. Gus Ashfa pun mengikuti langkahku, tak lama setelah aku masuk ke dalam kamar, dia pun menyusul ke dalam kamar itu.
"Maaf ya, aku baru bisa pulang!" Katanya saat aku mengeluarkan baju-bajunya dari dalam tak ransel itu.
"Iya, tidak apa-apa." Jawabku dengan senyum tipis pada pria yang berdiri dibelakangku itu.
Ku lihat setelah itu Gus Ashfa melangkah menghampiri tempat tidur kami, sepertinya dia lelah, karena aku lihat dia mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur kami.
"Aku siapankan air hangat ya Gus untuk mandi?" Tawarku kemudian padanya.
"Tidak usah, aku bisa sendiri" tolaknya pria itu. "Maaf, aku mau istirahat dulu!" Katanya kemudia, seraya membalikkan badannya dari arahku.
Aku hanya terdiam, aku biarkan dia tenang dalam istirahatnya, karena mungkin perjalanan 5 jam dari kampusnya menuju rumah pasti sangat membuat dia lelah.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
Ficción GeneralSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...