Bagian 45

1K 48 8
                                    

Tiga hari sudah berlalu, pagi ini saat aku sedang burtugas di rumah sakit kak Azna menelfonku.

"Ashfa, apa kamu dan Hubby bisa temeni Ummi fisioterapi hari ini?" tanya kak Azna saat aku mengangkat telfonya. "Alika sakit, kata ustadzahnya demamnya tinggi, jadi kakak tidak bisa menemani Ummi terapi, karena kakak harus jemput dia dari pesantren." Kak Azna menjelaskan kondisi putrinya yang sedang sakit padaku.

"Iya kak, nanti pulang kerja aku akan langsung jemput Ummi."

Sore hari setelah pekerjaanku selesai di rumah sakit, aku bergegas menjemput Ummi untuk mengantarnya terapi, sengaja aku tidak mengajak Hubby karena aku takut dia akan kembali bersikap dingin setelah bertemu dokter Aliya, jadi aku putuskan untuk menemani Ummi sendiri.

"Mana istrimu?" tanya Ummi saat aku menjemputnya.

"Ashfa pulang kerja langsung kesini Ummi, tidak apa-apa ya Ashfa antar Ummi sendiri," kataku pada Ummi.

Aku papah Ummi masuk ke dalam mobilku, setelah sampai rumah sakit aku antar Ummi ke ruang fisioterapi menggunakan kursi roda yang sudah disiapkan oleh rumah sakit karena aku tidak tega jika Ummi harus berjalan menuju Poli Rehabilitasi Medik yang jaraknya lumayan jauh dari tempat parkir mobilku.

Saat sampai di ruang fisioterapi, ku lihat dokter Aliya menyambut kedatangan kami dengan ramah, aku tidak menyangka Ummi dan dokter Aliya begitu dekat, mereka begitu akrab seolah-olah sudah lama kenal, dan saat proses terapi aku perhatikan Ummi dan dokter Aliya bersenda gurau dengan riang.

"Kalau ada waktu nak dokter main-main ya ke rumah Ummi!" kata Ummiku pada dokter Aliya saat terapi sudah selesai.

"InsyaAllah Bu!" jawab dokter Aliya.

Aku segera mengucapkan terimakasih pada dokter Aliya dan berpamitan karena fisioterapi Ummi sudah selesai, ku dorong kursi roda Ummi keluar dari ruangan itu, dan setelah beberapa meter langkahku meninggalkan ruangan itu.

"Dokter! Dokter Ashfa!" ku dengar suara dokter Aliya memanggilku. Aku segera menoleh ke arahnya

"Konta!" terlihat dia menunjukkan kontak mobilku di tangannya.

Ternyata kontak mobilku tadi ketinggalan di meja dokter Aliya.

"Ummi tunggu sebentar ya, Ashfa ambil konta mobil dulu!" kataku pada Ummi, seraya meninggalkannya di koridor rumah sakit yang terletak di depan Poli Rehabilitasi Medik.

Segera aku membalikkan badanku melangkah menghampiri dokter Aliya.

"Terimakasih!" kataku pada dokter Aliya saat dia menyerahkan kontak mobil itu padaku.

"Andai kata ibumu berkenan mengenal aku sebelumnya, mungkin keadaanku tidak akan serumit ini," kata dokter Aliya tiba-tiba.

Seketika aku tercengang mendengar ungkapannya, dan saat aku melihat wajahnya, dia tersenyum tipis ke arahku sembari kemudian melangkah masuk ke dalam ruangannya meninggalkanku.

Aku menghelan nafas panjang, dengan kemudian menyebut nama tuhanku "ya Allah" sungguh aku adalah manusia biasa yang terkadang tak sanggup melihat kepiliuan di mata seorang wanita. Namun aku tidak ingin tenggelam dan larut dalam perasaan memikirkan dokter Aliya, karena ada perasaan Hubby yang harus lebih aku fikirkan.

Segera aku menghampiri Ummiku dan mendorong kursi rodanya, setelah sampai di pintu keluar rumah sakit aku papah Ummi untuk masuk ke dalam mobil. Aku antarkan beliau pulang, aku segera berpamitan setelah aku sampai rumah Ummi dan memastikan Ummi telah beristirahat.

Dalam perjalanan pulang pikiranku berkecamuk, ada bayangan dokter Aliya di benakku, mungkinkah sampai saat ini dia masih mencintaiku? Tidak! segera aku tepis perasaan itu, ada Hubby di rumah yang saat ini setia menungguku.

"Assalamualaikum!" kataku saat masuk ke dalam rumah.

"Waalaikum salam!" jawab mbak Nur yang saat itu membukakan pintu untukku.

"Mana Ning Hubby mbak Nur?" tanyaku.

"Baru saja masuk ke dalam kamarnya Gus, mungkin sholat," jawab mbak Nur.

Aku seger masuk ke dalam kamarku untuk menghampiri Hubby. Ku lihat Hubby memang sedang sholat di kamar kami. Aku pun segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, mandi dan berwudhu, setelah keluar dari kamar mandi ku lihat Hubby sudah tidak ada di dalam kamar kami, mungkin dia sedang menyiapkan makan malam untukku. Dan ternyata dugaanku benar, setelah aku selesai sholat Hubby menghampiriku untuk mengajakku makan malam.

Dihidangkannya soto ayam kampung kesukaanku untuk makan malam.

"Terimakasih sayang!" kataku padanya seraya kemudian menyantap masakannya.

"Bagaimana perkembangan terapi Ummi?" tanya Hubby mengejutkanku, aku berfikir dari mana dia tahu kalau aku baru saja mengantarkan Ummi terapi. "Ning Azna tadi menelfonku kalau Gus Ashfa mengantarkan Ummi terapi, Ning Azna mengira Gus Ashfa mengajak diriku." kata Hubby.

"Iya, sebenarnya tadi aku memang mau mengajak kamu, tapi karena aku capek harus bolak-balik jemput kamu trus jemput Ummi, jadi aku fikir kalau lebih baik aku antarkan Ummi sendiri saja, lagi pula aku tidak ingin kamu kecapean." Jawabku meyakinkan Hubbyna kalau niatku tidak mengajaknya mengantar ummi terapi adalah untuk menjaga kesehatannya.

Ku lihat Hubby bisa menerima penjelasanku, dia tersenyum dengan kemudian menuangkan air putih dari teko untuk aku minum.

"Bagaimana keadaan dokter Aliya?" tanya Hubby kemudian.

Aku tercengang saat dia menanyakan hal itu.

"Aku lihat dia sehat."

Aku segera menuju wastafel setelah mengatakan hal itu pada Hubby. Entah kenapa aku berfikir kalau Hubby bisa membaca pikiranku yang saat ini memang sedang memikirkan dokter Aliya.

Setelah mencuci tanganku di wastafel aku segera menuju kamar, ku tinggalkan Hubby yang tengah membereskan meja makan dibantu oleh mbak Nur.

Rasanya aku begitu lelah, ku rebahkan tubuhku di atas ranjang tidur karena aku ingin segera menutup mata untuk menghilangkan rasa penatku.

Hampir saja aku tertidur namun tiba-tiba Hubby membuka pintu sehingga mengejutkanku.

"Gus Ashfa!" ku dengar Hubby memanggil namaku seraya duduk di ranjang tidur kami.

"Mmmm?" sahutku.

"Katakan padaku? jika seandainya dokter Aliya tidak menikah sampai saat ini karena masih mencintai Gus Ashfa, apa yang Gus Ashfa lakukan?" tanyanya lembut padaku.

Seketika aku bangkit dari tidurku, kemudian menemaninya duduk di ranjang itu.

"Aku tidak bisa memaksa hati seseorang untuk mencintai atau pun membenciku, jika memang dokter Aliya masih mencintaiku, itu adalah haknya, dan tidak lagi menjadi urusanku." Jawabku dengan menyentuh pundaknya. "Berfikirlah positif dan selalu berdoalah agar keluarga kita selalu baik-baik saja!" kataku kemudian. "Aku akan selalu berusaha memberikan hati yang terbaik untukmu," lanjutku dengan menepuk-nepuk pundak wanita yang aura wajahnya saat itu tampak layu.

Entah apa yang dia rasakan, mungki naluri kewanitaan yang dia miliki begitu peka, sehingga dia dapat merasakan kalau dalam pikiranku saat ini terbersit bayangan dokter Aliya.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang