Bagian 20

2.9K 114 13
                                    

Acara wisudaku berjalan dengan hikmad, Alhamdulillah serangkaian acara ini pun selesai. Begitu banyak yang memberikan selamat padaku atas prestasi yang aku dapatkan, teman-temanku, para dosenku, iparku, serta mertua, dan orang tuaku.

"Ashfa tidak datang Hubby?" Tanya Ummiku lirih, saat Ummi Arifah sedang berada di kamar mandi bersama Ning Azna.

"Gus Ashfa belum selesai tugasnya Ummi, tapi dia sudah menghubungi Hubby Ummi, dari tadi WA Hubby terus, mungkin kepikiran ya ummi karena tidak bisa datang." Jawabku pada Ummi dengan senyuman.

"Sepertinya sudah lebih satu tahun ya Ashfa perginya, dulu sebelum Romadhon berangkatnya, ini malah sudah lewat Syawal tapi dia belum pulang." Sahut Ummiku.

Mungkinkah Ummi khawatir dengan pernikahanku, ya Allah aku tidak ingin ummi berfikir macam-macam dan tahu dengan keadaan pernikahanku yang sebenarnya, karena itu pasti bisa sangat melukai perasaannya.

"Gus Ashfa sudah berjanji akan pulang jika semua urusannya di sana sudah selesai Ummi, aku percaya pada Gus Ashfa, karena dia sangat memperhatikanku meskipun kita terpisah oleh jarak dan waktu." Jawabku meyakinkan Ummi, kalau sebenarnya hubungan pernikahanku dan Gus Ashfa baik-baik saja.

"Ya sudah ummi ke kamar mandi dulu!" Pamit Ummiku kemudian.

"Aku tunggu di mobil ya Ummi!" Kataku.

Sengaja aku tidak menemani Ummi ke kamar mandi karena aku enggan Ummi bertanya macam-macam padaku tentang Gus Ashfa.

Aku berjalan menuju tempat parkir, karena setelah acara wisuda selesai tadi semua peserta sudah berhamburan keluar gedung. Aku tunggu Ning Azna, Ummi Arifah, Abahku yang dari tadi pergi entah kemana, dan Ummiku di dalam mobil, mobil keluarga Kiayi Masykur yang mengantar kami ke tempat ini, karena meski letak tempat wisudaku dalam lingkup kawasan pesantren, namun jarak antara gedung wisuda kampusku dengan rumah mertuaku cukup jauh, sekitar 1 kilo meter.

Aku duduk di dalam kursi mobil sambil menunggu keluargaku yang dari tadi di kamar mandi.

"Kemana yang lainnya Ning?" Tanya kang Mustofa supir Abah Masykur.

"Masih di kamar mandi kang?" Sahutku.

"Saya di bawah pohon sana ya Ning, soalnya mau merokok!" Pamit kang Mustofa kemudian.

"Iya," sahutku.

Kurang lebih tiga puluh menit aku menunggu Ummi dan kakak iparku di dalam mobil, namun beliau-beliau semua belum juga datang. Karena merasa gerah aku buka pintu mobilku lebar-lebar. Dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan buket bunga yang di letakkan oleh seseorang di pangkuanku.

"Selamat ya!... Maaf aku terlambat datang! Tadi penerbanganku telat satu jam" ternyata Gus Ashfa yang berdiri di luar pintu mobilku.

Aku tertegun dan bingung hendak berkata apa padanya yang datang dengan kata maaf disertai karangan bunga secara tiba-tiba.

"Mmmm... Tidak apa-apa." Jawabku. "Alhamdulillah Gus Ashfa sudah datang dengan selamat" lanjutku, "masuk Gus!" Aku sedikit geser dari tempat dudukku dan menawarinya duduk di sebelahku.

"Aku bawa mobil." Katanya kemudian dengan tersenyum tipis.

Tidak aku sangka Gus Ashfa berkenan datang dalam acara wisudaku, meski datangnya terlambat, namun aku sangat menghargai usaha kehadirannya, dan jujur perasaanku sangat bahagia, karena setidaknya dia masih perduli padaku.

Tak lama setelah itu ku lihat Ummi Arifah dan semuanya yang baru datang dari kamar mandi bercengkrama hangat dengan Gus Ashfa. Ku lihat dari dalam mobil mereka saling bercerita cukup lama, dan kemudian.

"Hubby! Temani suamimu di mobilnya!" Seru Ummi Arifah.

Aku segera keluar dari dalam mobil dengan membawa buket bunga hadiah dari Gus Ashfa.

"Ummi senang, ternyata Ashfa benar-benar perhatian sama kamu." Bisik Ummiku dengan raut bahagia saat aku hendak mengikuti langkah Gus Ashfa menuju mobilnya.

Aku tersenyum tipis, aku tinggalkan Ummiku, mertua, serta iparku untuk ikut pulang bersama Gus Ashfa. Dan ketika di dalam mobil.

"Selamat ya kamu mendapat IPK tertinggi!" Gus Ashfa kembali memberiku ucapan selamat yang membuatku sangat bahagia. "O iya, program internshipku sudah selesai. Mulai besok aku sudah bekerja di rumah sakit umum yang ada di kota ini, kebetulan saat di sana aku sudah mengirim lamaran kerja lewat email, selain ada salah-satu dokter senior juga yang merekomendasikan aku untuk bekerja disitu, akhirnya aku di terima." Katanya dengan mengemudikan mobil.

"Alhamdulillah!" Sahutku.

Tak lama kemudian kita sampai di rumah. Sungguh aku tidak menyangka perhatian Gus Ashfa yang begitu hangat padaku.

Malam ini ketika Gus Ashfa masih berada di masjid seperti biasa untuk berjamaah Isyak. Aku bersiap di kamarku, aku berdandan lebih dari biasanya, ku pakai bedak dan lipstik yang jauh lebih tebal dari biasanya berharap malam ini Gus Ashfa memperhatikanku. Dan dengan hati yang berbunga aku tunggu kehadiran Gus Ashfa masuk kamar ini.

Sekitar tiga puluh menit kemudian Gus Ashfa pun sudah masuk ke dalam kamar ini. Aku duduk di ranjang dan berharap Gus Ashfa akan menyapaku dengan penuh perhatian, dan ternyata dugaanku benar, setelah meletakkan kopyah, dan sajadahnya di kursi dekat lemari baju kami, Gus Ashfa menghampiriku yang duduk di atas ranjang.

"Hubby!" Serunya lembut dengan duduk di hadapanku seraya menatap wajahku. "Kenapa kamu berdandan aneh seperti itu?" Tanyanya dengan mengerutkan alis. "Kamu terlihat cantik tanpa mekeup seperti ini." Tandasnya membuat aku seketika malu.

Ungkapan Gus Ashfa yang begitu jujur membuat perasaanku begitu tidak menentu, rasa malu dan yang lainnya bercampur aduk menjadi satu.

"O iya, aku harap kamu tidak terlalu terbawa rasa padaku! Aku memberikan karangan bunga itu sebagai hadiah untuk prestasimu," katanya dengan melihat buket bunga pemberiannya yang aku letakkan dengan rapi di meja. "Jujur hatiku masih belum bisa!" Ungkap Gus Ashfa kemudian. "Maafkan aku Hubby! Aku tetap akan berusaha! Aku akan tetap berusaha!" Katanya kemudian seraya beranjak dari tempat tidurku. "Aku ke klinik pesantren dulu!" Pamitnya sembari meninggalkanku.

Ya Allah ternyata aku hanya terbawa rasa, aku pikir perhatian Gus Ashfa padaku karena ada sedikit rasa cinta, ternyata itu hanya sebuah perhatian biasa saja, entah perhatian sebagai teman, sebagai saudara, atau sebagai orang yang tinggal satu kamar dengannya saja, yang harus dia beri hadiah saat memperoleh prestasi hanya karena rasa sungkan saja.

Segera aku masuk ke dalam kamar mandi dan menghapus makeup tebal yang menempel di wajahku ini, jujur melihat wajahku di cermin terasa menyakitkan hati, aku malu, aku malu, aku sangat malu, bercampur dengan rasa sedih yang membelenggu di kalbu. 

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang