Pagi ini ku lihat Gus Ashfa sudah bersiap hendak ke rumah sakit tempat dia bekerja, sementara aku juga bersiap hendak mengajar di lembaga pendidikan milik keluarga Gus Ashfa.
"O iya Hubby! Semalam aku sudah berfikir, kita akan keluar dari rumah ini. Nanti siang aku akan jemput kamu dari sekolah, kita akan melihat rumah baru kita, nanti di sana kamu bisa memilih rumah mana yang ingin kamu tempati." Kata Gus Ashfa sebelum dia pergi dengan tersenyum padaku. Dan aku hanya terdiam mendengarkannya. "Aku berangkat dulu!" Lanjutnya dengan mencium pipiku.
Ya Allah sungguh ini adalah ciuman pertama dari orang itu. Orang yang berhati beku, orang yang selama lima tahun ini menjadi suamiku, namun tidak pernah mencintaiku.
Aku menghelan nafas panjang, entah mengapa perubahan sikap Gus Ashfa membuat hati dan pikiranku menjadi beku, rasanya aku bingung menanggapi perubahan sikapnya yang tiba-tiba hangat itu.
Siang ini seperti yang dia katakan, dia benar-benar hadir di sekolah tempatku mengajar, dia menjemputku bahkan sebelum jam kerjaku selesai.
Dibukakannya pintu mobilnya untukku, dan dipasangkannya sabuk pengaman untukku. Dia begitu baik dan perhatian padaku.
"Kita makan siang di luar ya!" Ajaknya saat dia mulai melajukan mobilnya.
"Iya terserah!" Jawabku tanpa semangat.
Aku terdiam, entah kenapa hatiku masih terasa enggan berbicara apapun dengannya, meski aku melihat aura yang begitu semringah terpancar di wajahnya.
Ku lihat dia mulai membelokkan mobilnya di kawasan salah satu perumahan elite yang ada di kotaku.
"Dua rumah yang di depan ini masih belum ada pembelinya." Katanya saat mobilnya melewati dua rumah yang ada di dekat area pintu masuk kawasan perumahan itu. "Di sebelah sana juga ada rumah yang belum ada pemiliknya." Lanjutnya dengan menunjukkan rumah berlantai dua dengan ukuran 169 meter persegi kepadaku. "Kamu bisa memilih, rumah yang mana yang ingin kamu tempati!" Katanya kemudian padaku.
Aku masih terdiam memikirkan tawarannya itu, hingga kemudian aku mulai mengungkapkan isi hatiku.
"Apa tidak terlalu egois jika tiba-tiba kita keluar dari rumah Abah dan Ummi?" Tanyaku lirih. "Akhir-akhir ini Ummi sering sakit-sakitan, apa tindakan ini tidak mempengaruhi kesehatannya jika tiba-tiba kita berpamitan untuk keluar rumah." Ungkapku pada Gus Ashfa.
Gus Ashfa ku lihat seketika menepikan mobilnya.
"Selama ini aku selalu hidup dalam bayang-bayang keluargaku, apa yang tidak aku berikan untuk mematuhi keinginan mereka semua." Katanya. "Lima tahun aku berperang dengan emosi dan jiwaku untuk menemukan rasa ini, kini setelah rasa itu datang, aku ingin membuat sebuah keputusan untuk kebahagiaanku, apa aku salah Hubby jika aku memilih bahagia bersamamu tanpa bayang-bayang mereka?" Tanyanya dengan menatapku.
"Bahagia bersamaku?" Tanyaku.
"Iya." Dia mengangguk dan menggenggam tanganku. "Aku ingin memperbaiki semuanya Hubby! Beri aku kesempatan! Ijinkan aku menebus kewajiban yang belum pernah aku berikan! Sungguh lima tahun berusaha mendapatkan rasa ini begitu berat bagiku, dan sekalipun seberat aku tetap berusaha untuk tidak menghianatimu, aku tetap berusaha untuk setia padamu." Uangkapnya.
Aku masih terdiam, entah kenapa hatiku masih terasa sakit, meski aku percaya ungkapannya adalah suatu kejujuran tentang perjuangannya menemukan rasa dalam sebuah pernikahan ini. Aku percaya dia tidak pernah menghianati janji suci pernikahan ini. Aku percaya saat ini dia pun bersungguh-sungguh untuk memperbaiki kesucian rumah tangganya ini. Namun entah kenapa hatiku juga masih terasa hampa dan sepi dengan kesungguhannya. Ya Allah sungguh aku tak berdaya.
"Hubby! Aku tau kamu sangat menyayangi Ummi dan keluargaku, rumah kita tidak jauh dari tempat mereka. Setiap hari kalau kamu mau kita pun tetap bisa mengunjungi mereka." Ujarnya kemudian.
"Iya." Aku mengangguk mengiyakan keinginannya.
Malam telah menjelang, setelah setengah hari aku dan Gus Ashfa melihat-lihat rumah baru untuk tempat tinggal kami, aku lihat Gus Ashfa tidak kembali ke rumah sakit tempatnya bekerja, dari tadi magrib hingga saat ini dia masih berada di masjid pesantren untuk menjalankan ibadahnya. Dan aku pun tidak banyak bertanya dengan perubahan sikapnya itu.
"Kreeek!!" Terdengar Gus Ashfa membuka pintu kamar kami. Aku yang baru membuka mukenahku hanya melihatnya dengan senyum tipis tanpa sebuah kata.
Ku lihat setelah itu Gus Ashfa masuk ke dalam toilet yang ada di dalam kamar kami, dan kemudian dia keluar dengan baju piyamanya.
"Hubby!" Serunya dengan mendekatiku yang sudah berbaring di ranjang dengan berbalut selimut hangat berbulu. Terasa tangan Gus Ashfa melingkarkan tangannya di tubuhku yang saat itu berada dalam posisi membelakanginya. Aku semakin rapatkan menarik selimutku.
"Aku lelah! Aku ingin istirahat!" Ujarku dengan nada tanpa semangat.
"Iya!" Kata Gus Ashfa kemudian seraya bangkit dari posisinya yang baru saja memelukku. Dan setelah itu dia pun segera mengganti baju piyamanya dengan pakaian yang biasa dia kenakan saat di klinik pesantren. "Aku ke klinik dulu!" Pamitnya dengan menghampiriku, dan kemudian mencium keningku. Di pegangnya pipiku dengan lembut sembari berkata, "istirahatlah!".
Aku menghelan nafas panjang ketika Gus Ashfa sudah keluar dari kamarku. Ya Allah apa aku berdosa karena dengan tak sengaja menolak pelukannya yang mengarah kepada keinginan itu, dan apakah malaikat akan melaknatku? Hatiku penuh tanya. Tidak! Aku segera menepis perasaan itu, hatiku masih terasa lelah, dan aku masih belum siap untuk semua itu, seperti perasaan Gus Ashfa saat itu, saat dia belum siap untuk menerimaku.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
Narrativa generaleSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...