Bagian 23

2.6K 131 5
                                    

Keesokan harinya saat ku lihat Gus Ashfa hendak bekerja dengan wajah penuh semangat berdiri merapikan kemejanya di depan kaca, aku coba beranikan diri untuk bertanya.

"Bagaimana kabar dr. Aliya?" Suaraku lirih menyapanya.

Seketika Gus Ashfa menoleh ke arahku, "maksutmu?" Tanyanya.

"Bukankah dr. Aliya saat ini ada di kota ini, dan sudah bekerja di rumah sakit yang sama dengan dr. Ashfa?" Sahutku sinis.

Gus Ashfa menghelan nafasnya dan tersenyum tipis ke arahku. "Aku sudah menikah, InsyaAllah aku bisa menjaga kehormatan pernikahanku." Jawabnya seraya beranjak meninggalkanku.

Entah kenapa mendengar jawabannya yang begitu angkuh membuat sesak di dadaku. "Kehormatan pernikan apa yang dia katakan? Bahkan dia pun tak bisa menghargai wanita yang dinikahinya." Gumamku dalam hati saat melihat dia keluar dari kamar kami. Entah kenapa aku begitu sulit mengungkapkan gejolak dalam hatiku ini padanya.

Hari ini aku putuskan untuk menemui dokter Aliya kembali, entah apa yang ingin aku katakan padanya, sepertinya hatiku bergejolak untuk segera bertemu dengannya. Akhirnya setelah sampai rumah sakit tempat Gus Ashfa bekerja aku segera mencari ruangan dokter Aliya tanpa bertanya pada resepsionis, dan tiba-tiba saat aku berjalan dengan mata menyelidik ruangan-ruangan tempat dokter bekerja.

"Maaf!" Seseorang menabrakku tanpa sengaja.

Ku lihat wajahnya, ternyata dia adalah dokter Aliya.

"Sepertinya kita pernah bertemu ya?" Tanya wanita itu padaku.

"Iya benar, beberapa hari yang lalu aku mengikuti workshop dan pembicaranya adalah dokter Aliya." Jelasku padanya.

"Oooo... Pantas! Mau kemana?" Tanya wanita itu ramah kemudian padaku.

"Mau ketemu dokter" jawabku.

"Oooo... Ayo masuk ruanganku!" Ajak dokter cantik itu kemudian dengan mengajakku ke ruangan yang tidak jauh dari tempat kami bertabrakan.

Ku lihat dokter Alya menggandeng tanganku dan menggiringku masuk ke dalam ruang kerjanya itu.

"Ada yang bisa aku bantu?" Tanya dokter cantik itu padaku.

"Mmm... Hanya ingin sharing dan ngobrol saja." Jawabku sedikit gugup.

"Boleh! Mau sharing tentang apa?" Tanyanya ramah dengan senyum yang merekah. Ku pandangi wajah dokter cantik yang bersikap begitu baik padaku itu.

"Dokter cantik, apa dokter sudah menikah?" Tanyaku kemudian.

Dokter Aliya terlihat kaget dengan pertanyaanku, dia sedikit mengerutkan kedua alisnya.

"Mmm, belum bertemu jodoh." Jawabnya seraya tersenyum tipis.

"Kenapa dokter Aliya memilih bekerja di kota ini?" Tanyaku lagi.

Dokter Aliya kembali mengerutkan alisnya.

"Mmm, karena faktor kebetulan, aku mengabdi pada negara jadi aku harus berkenan ditempatkan di mana saja." Jawabnya dengan masih memberikan senyuman.

"Dokter sangat cantik!" Pujiku lagi.

"Terimakasih!" Jawabnya.

"Dokter! Apakah dokter masih mencintai dokter Ashfa?" Tanyaku kemudian.

Seketika dokter Aliya terdiam. "Apa maksudmu?" Tanyanya padaku heran.

"Aku adalah istri dr. Ashfa, dan aku tahu kalian pernah saling cinta, mungkin hingga saat ini dr. Ashfa masih memendam rasa untuk dr. Aliya." Kataku dengan mata sedikit berkaca-kaca. "Dokter juga belum menikah kan? dan sekarang kalian bekerja di rumah sakit yang sama, menurut dokter apa yang akan terjadi jika orang yang sama-sama saling memendam cinta dan rasa kemudian bertemu?" Tanyaku dengan sedikit ketus.

Dokter Aliya terdiam. Dia menatapku dengan mata sendu. "Kita sama-sama wanita, kenapa sesama wanita harus merendahkan wanita lain," katanya padaku. "Apa serendah itu aku di matamu?" Tanyanya. " Aku bukan wanita alim, aku pun awam agama, tapi aku cukup menjunjung tinggi sebuah ikatan pernikahan, dan aku tidak akan pernah mengganggu suami orang." Kata-kata dr. Aliya begitu menampar wajahku. Mungkinkah aku terlalu berprasangka buruk padanya hingga membakar emosiku dan menanyakan suatu hal yang teramat menyinggung perasaannya. "Maafkan aku! Aku masih banyak pekerjaan, silahkan keluar!" Pinta dr. Aliya kemudian padaku dengan suara datar dan tanpa senyuman.

Segera aku keluar dari ruangan itu, jujur saat ini pikiranku menjadi begitu kacau, kata-kata dr. Aliya begitu menusuk hatiku, emosi yang membakar jiwaku kini menyudutkanku pada sebuah penyesalan, jika saja aku bisa menahan emosi mungkin aku tidak akan merasa malu di hadapan dokter Aliya, ya Allah padahal aku sering mendengar nasehat Ummiku "jika hatimu sedang terbakar emosi, diamlah! Karena keputusan dan kata-katamu disaat emosi pasti akan menyisakan penyesalan". Ya, seperti itulah yang aku rasakan saat ini, sejuta penyesalan.

Tak terasa magrib pun tiba, setelah sholat magrib berjamaah dengan santriwati di surau pesantren, aku segera pulang, aku berfikir apa yang akan terjadi setelah ini ketika Gus Ashfa datang, dia pasti akan menegurku karena dr. Aliya pasti telah mengatakan sesuatu hal padanya, kalau tadi aku sudah menemuinya.

Aku tunggu kedatangan Gus Ashfa dengan rasa cemas. Saat dia mengucap salam di depan pintu, segera aku menghampiri dan mencium tangannya. Ku bawakan tas kerjanya, dan kusiapkan handuk serta baju ganti untuknya.

Aku bersabar menunggu Gus Ashfa menegurku tentang masalahku tadi siang dengan dr. Aliya, namun ku lihat Gus Ashfa tidak berbicara apa-apa, dia tetap bersikap seperti biasanya. Mandi, sholat, mengaji, makan, dan kemudian berpamitan ke klinik pesantren. Ya Allah apa mungkin dr. Aliya tidak mengatakan apa-apa pada Gus Ashfa? Hatiku penuh tanda tanya. Segera aku keluar kamar dan menghampiri Gus Ashfa yang hendak berangkat ke klinik pesantren.

"Aku ingin bicara!" Kataku pada Gus Ashfa.

"Iya!" Gus Ashfa mengangguk dan kembali masuk ke kamar kami. "Ada apa?" Tanyanya kemudian setelah masuk ke dalam kamar.

"Tadi aku menemui dr. Aliya!" Kataku padanya.

"Untuk apa?" Tanyanya dengan wajah sedikit terkejut.

"Untuk memastikan, apakah suamiku masih memiliki hubungan dengannya atau tidak." Jawabku dengan mata berkaca-kaca.

"Hubby! Apa serendah itu aku di matamu?" Tanya Gus Ashfa dengan raut memerah. "Selama ini aku terus berusaha untuk menjaga pernikahan ini." Lanjutnya, "aku tahu, aku belum mampu memberikan kebahagiaan cinta padamu! Tapi sungguh aku tidak pernah menghianati kesucian pernikahan ini." Jelasnya. "Bahkan sekalipun aku tidak pernah berbicara dengan dr. Aliya, jika itu bukan tentang pekerjaan." Lanjutnya.

Tak terasa air mataku berlinang.

"Pernikahan seperti apa yang Gus Ashfa jaga?" Tanyaku dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Pernikahan tanpa sebuah cinta?" Tanyaku. "Untuk apa pernikahan itu dijaga jika terasa sakit di dada." Ungkapku padanya. "Aku melihat dr. Aliya adalah wanita yang sangat baik, bahkan aku malu saat aku berprasangka buruk padanya." Lanjutku. "Dokter! Jika Abahku sudah sembuh, lepaskan saja aku! kembalilah pada dokter Aliya!" Pintaku kemudian padanya.

Sungguh tak sanggup aku menahan genangan air mata ini, segera aku palingkan wajahku dari hadapannya agar dia tidak melihat begitu deras air mata yang mengalir di pipiku ini.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang