Bagian 43

1.1K 46 2
                                    

Tiga hari kemudian Hubby sudah boleh pulang dari klinik, Hubby memintaku agar aku merahasiakan operasinya ini pada keluarganya dan keluargaku, dan aku cukup menghargai keputusannya dengan tidak memberitahukan pada siapapun tentang keadaannya saat ini.

"Setelah kamu benar-benar pulih, kita akan mulai terapi agar kamu lekas hamil," kataku padanya saat di dalam mobil ketika perjalanan pulang.

"Aku benar-benar bisa segera hamil kan dokter?" tanyanya padaku dengan raut wajah penuh kecemasan.

"InsyaAllah! Kamu harus optimis." Aku menyemangatinya dengan melempar senyuman.

Seiring dengan berjalannya waktu kesehatan Hubby berangsur membaik, Hubby istriku mulai melakukan program hamil, selain memeriksa kesuburan Hubby, dokter juga memeriksa kesuburanku, dari hasil pemeriksaan dan tes laboratorium tidak ada masalah dengan kesuburanku, begitu juga dengan Hubby, dokter menyatakan kami sama-sama sehat.

Sudah tiga bulan dari program hamil yang kita lakukan namun masih belum ada tanda-tanda hasil yang signifikan, dan aku lihat Hubby mulai mengalami kegelisahan.

"Kenapa aku belum hamil juga ya Gus Ashfa?" tanya Hubby padaku saat kita perjalanan pulang dari klinik dokter Gunawarman, dokter kandungan yang menangani program hamil kami.

"Dokter bilang, stres yang terlalu berlebihan bisa menghambat proses kehamilan," jawabku lembut. "Kita sudah berusaha, kita pasrahkan semuanya pada Allah, lagi pula ini kan baru tiga bulan," kataku padanya.

"Mmmm... Iya," sahut Hubby, kemudian tidak bertanya-tanya apapun lagi padaku.

Keinginannya untuk segera memiliki momongan sepertinya sangat mempengaruhi pikirannya, hingga tak pernah aku lihat raut wajah yang rileks dan santai di dalam hari-harinya.

"Sayang! Kamu tahu, ketika seseorang sudah dalam tahap keiklasan di hatinya, Allah senantiasa akan mengabulkan harapan-harapannya. Ketika seseorang sudah berikhtiar dengan sepenuh hati kemudian dia berpasrah, bersabar, bersyukur, dan merasakan hati yang bahagia, disitulah Allah akan berikan kenikmatan dalam perjalanannya memperjuangkan impian-impiannya. Dan aku rasa kamu mampu melewatinya, kamu mampu ikhlas dan sabar dalam menanti impianmu itu." Aku menasehatinya dengan lembut. "Ayolah sayang! Hentikan kecemasanmu itu! Karena itu bisa menghambat nikmat tuhanmu, dan menghambat proses kehamilanmu," lanjutku.

Hubby melihatku dengan mengangguk dan melemparkan senyuman.

Aku berharap Hubby dapat menerima nasehatku, dan tidak lagi terbelenggu dengan keinginannya yang membuat stres pada pikirannya.

Satu bulan telah berlalu, aku lihat Hubby tidak lagi sering membahas tentang program kehamilannya padaku, bahkan saat ini ketika aku mengajaknya kontrol pada dokter kandungan dia menolaknya.

"Ikhtiar dengan doa saja ya Gus, aku sudah pasrah, kapan saja diberi momongan aku ikhlas," katanya.

Aku mengangguk dengan senyum bahagia mendengar ungkapan Hubby. Sepertinya Hubby sudah dapat menerima dengan ikhlas apa yang telah ditetapkan oleh Tuhannya, dan jujur aku sangat bahagia melihat perubahan sikapnya.

Segera aku peluk istri cantikku itu, aku dekap dia dengan cinta, agar hatinya merasa lebih nyaman, dan merasakan bahwa aku selalu mendukung sikapnya.

"O iya sayang, bagaimana kalau weekend ini kita pergi keluar kota?" ajakku kemudian padanya. "Kita menginap di cottage, di tepi pantai mungkin?" kataku. "Kita perginya tidak jauh-jauh, di dekat sini saja, mau ya!" rayuku.

Ku lihat Hubby mulai berfikir.

"Lihat ini sayang!"

Aku menunjukkan pada Hubby gambar-gambar penginapan di tepi pantai yang jarak tempuhnya kurang lebih hanya 2 sampai 3 jam dari rumah kami.

"Bagaimana, mau?" tanyaku lagi.

"Iya, terserah Gus Ashfa!" jawabnya kemudian dengan anggukan.

Aku ingin Hubby bangkit dari rasa traumanya, aku juga ingin Hubby merasakan liburan yang nantinya akan dapat merilekskan pikirannya. Aku tidak berfikir panjang saat Hubby setuju dengan tawaranku, aku segera menghubungi beberapa hotel dan cottage yang telah aku tunjukkan padanya untuk memesan kamar, dan Alhamdulillah dari salah satu tempat yang aku hubungi masih ada kamar kasong untuk kami tempati.

Kini tiba dimana hari aku dan Hubby akan pergi menikmati weekend kami, sabtu dan minggu rasanya dua hari cukup untuk merefresh pikiran dan melepas kepenatan kami.

Aku tidak ingin ada yang mengganggu dalam perjalanan ini, sengaja aku matikan ponselku dan juga ponsel Hubby. Aku ingin benar-benar menikmati waktu kebersamaanku dengan Hubby.

Ku pilihkan cottage di tepi pantai untuk kita menginap, agar ketika membuka jendela kamar Hubby dapat menikmati indahnya pemandangan, debur ombak, dan semilirnya angin yang akan membuat dia tidak berhenti memuji ciptaan tuhan. Ya, aku ingin liburan singkatku bersamanya ini penuh makna dan tidak dapat dia lupakan.

Ku manjakan Hubby selama dua hari ini, jalan-jalan di mall, belanja barang kesukaannya, makan di restoran tepi pantai, menginap di cottage yang lumayan mahal, dan melakukan semua hal-hal yang dia inginkan, hingga waktu dua hari rasanya sangat kurang. Akhirnya aku tambah satu hari lagi, aku telfon teman kerjaku melalui telfon hotel untuk meminta tolong padanya mengajukan ijin cuti. Ya aku tambah satu hari lagi menginap di tempat ini.

Entah kenapa keesokan harinya di siang hari sebelum jam cek out dari hotel, aku ingin sekali mengaktifkan kembali poselku. Ku lihat ada lebih dari dua puluh panggilan tidak terjawab dari kak Azna dan Gus Ahmad di ponselku, karena merasa penasaran dengan apa ingin mereka sampaikan aku pun segera menelfon mereka.

"Assalamualaikum! Ada apa kak?" tanyaku saat aku menelfon kakak iparku tersebut.

"Ummi masuk rumah sakit dari kemarin malam, beliau terpeleset di teras depan rumah saat pulang dari jamaah subuh, mungkin karena malam-malam hujan jadi ada genangan air."

Kabar dari kak Azna tentang musibah yang menimpa Ummi seketika mengejutkakku.

"Bagaimana keadaan Ummi sekarang kak?" tanyaku penuh kekhawatiran. "Sebentar lagi aku akan pulang."

"Alhamdulillah sudah membaik, hanya saja Ummi mengalami stroke ringan, tangan kiri dan kaki kirinya susah untuk digerakkan." Jawab kak Azna.

Tanpa berfikir panjang aku segera mengemasi barang-barangku, ku katakan pada Hubby tentang musibah yang menimpa Ummiku, ku lihat Hubby yang saat itu masih bermanja di atas tempat tidur dengan guling, bantal dan selimutnya seketika bangun, terlihat wajahnya begitu cemas, diapun meminta padaku agar kita segera pulang, meskipun sebenarnya waktu cek outku dari tempat ini masih nanti malam.

Dua jam lebih dua puluh lima menit aku sudah sampai di rumah sakit tempat Ummiku dirawat, rumah sakit umum tempatku bekerja. Segera aku dan Hubby keluar dari mobil dan berlari menuju kamar rawat inap Ummiku.

"Dimana Ummi kak?" tanyaku saat melihat hanya kak Azna yang ada dalam ruangan itu.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang