Tidak bisa aku biarkan bayangan dokter Aliya terus menggangguku. Aku tidak ingin membuat perasaanku terlibat lebih jauh dengannya. Aku harus mengambil keputusan untuk menghentikan semua ini, akhirnya secara diam-diam aku mendatangi Ummiku, aku beri tahukan pada Ummiku kalau sebenarnya dokter Aliya yang menanganinya fisioterapi adalah mantan kekasihku, wanita yang tidak pernah Ummi inginkan untuk masuk dalam kehidupanku.
Tentu saja Ummiku sangat kaget mendengar hal ini, ada perasaan bersalah dari ungkapan Ummiku terhadap Hubby, karena Ummi sudah pernah memuji wanita itu di depan Hubby, dan ada perasaan bersalah juga dari ungkapan Ummiku terhadap dokter Aliya, karena beliau sudah pernah menolaknya, namun bagiku semua itu bukanlah hal yang penting karena mungkin ini adalah jalannya takdir bahwa Hubby adalah jodoh terbaik untukku.
Aku minta agar Ummiku menghentikan fisioterapinya dengan dokter Aliya, aku memohon kepada Ummi agar berkenan ditangani dokter rehabilitasi medis yang lain, dan Ummiku pun menyetujui permintaanku itu.
Hari ini adalah hari dimana jadwalku dinas malam, setelah mengunjungi rumah Ummi aku kembali ke rumahku untuk bertemu dengan Hubby, bercengkrama dengannya, menghabiskan waktu sore bersama karena malam nanti aku akan meninggalkannya untuk bertugas.
Ya, kini tiba waktu aku harus berangkat bekerja, aku berpamitan pada Hubby, aku cium pipinya, dan aku minta agar dia selalu mendoakanku.
Setelah sampai di rumah sakit, saat aku baru masuk ruangan seorang teman sejawat menyapaku dan menyampaikan sebuah berita yang mengejutkanku.
"Dokter Aliya tadi siang pingsan lo dok, saat ini dia masih di ruang perawatan, kasian sekali lo dok sampai saat ini keluarganya belum ada yang datang, katanya sih orang tuanya tinggal di luar negeri semua, dan aku lihat keluarganya yang di dekat sini juga belum ada yang datang."
"Sakit apa?" tanyaku penasaran.
"Sepertinya dia punya maag kronis dan masalah lambung juga, tadi pada saat aku lihat dia di kamar rawatnya dia muntah darah dok, sepertinya karena lambungnya sudah luka." Jelas temanku. "Katanya sih dia terlalu kecapean, lupa waktu, lupa makan, lupa istirahat, kerja terus." Ceritanya temanku. "Aku lihat memang dia aktif banget sih dok, aktivitas sangat tinggi" lanjutnya. "O iya dok, aku dengar waktu S1 dulu, dia satu letting ya sama dokter?" tanya temanku kemudian.
"Iya," sahutku dengan tersenyum dan mengangguk seraya meninggalkannya. "Aku mau lihat dokter Aliya dulu!" pamitku padanya.
Sebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak menemui dokter Aliya, tapi karena aku dengar sakit yang dialaminya cukup serius tentu naluri kemanusiaanku berbicara, dan aku ingin segera melihat keadaanya.
Aku mengucapkan salam saat masuk ke dalam kamarnya. Ku lihat dia membalas salamku dengan lirih, dia terbaring di atas bed rumah sakit dengan lemas lengkap dengan selang infus dan oksigen.
"Kamu sakit apa?" tanyaku.
"Mmmm... Sakit hati karena ditinggal kamu," jawabnya dengan senyuman.
"Mmmm... Sakit begini masih bisa bergurau?" sahutku. "Keluargamu masih belum ada yang datang?" tanyaku.
"Mama papaku masih dalam perjalanan."
"Keluargamu yang disini, apa mereka juga belum datang?" tanyaku lagi.
"Om sama tanteku lagi ada di luar kota, mereka juga masih dalam perjalanan," jawabnya.
Sungguh aku tidak tega melihat keadaan dokter Aliya, wajahnya begitu pucat, bibirnya terlihat mengering, dan terbujur lemas tanpa keluarga atau sanak saudara yang menemaninya.
"Aku temani kamu sampai keluargamu datang," kataku kemudian sembari duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Jujur perhatian yang aku lakukan ini semata-mata hanya karena rasa kemanusiaan saja, karena kita pun pernah bersahabat sebelumnya.
"Tidak usah, nanti istrimu marah!" tolaknya.
"Tidak apa-apa istriku bukan seorang pemarah, dia wanita yang baik," jawabku.
"Jika dia memang baik, minta padanya agar dia melepaskan kamu untukku!" katanya dengan suara yang lemah.
"Mmmm..." Aku tersenyum. "Jangan bicara yang aneh-aneh, tidurlah!" kataku seraya berdiri untuk menyelimutinya.
Ku lihat setelah itu mulut dokter Aliya mendesis, sepertinya dia merasa kesakitan, saat aku pegang keningnya suhu badannya pun sangat tinggi.
Segera aku periksa dia dengan stetoskop yang melingkar di leherku, namun melihat kondisi dokter Aliya yang semakin melemah aku pun berfikir untuk segera menghubungi dokter ahli penyakit dalam yang saat ini menanganinya.
Aku mencoba mencari ponselku yang biasanya aku letakkan di kantong celana karena aku ingin segera menghubungi dokter yang menanganinya, namun sepertinya ponselku tertinggal di rumah karena tak ku temukan ponsel itu di kantong jas, baju, atau pun celanaku.
"Tunggu ya! Aku panggil dokter!" kataku padanya.
Segera aku keluar dari ruangan itu untuk memanggil dokter, karena jujur aku sangat khawatir dengan keadaan dokter Aliya yang tiba-tiba terlihat begitu kesakitan dengan badan semakin lemah.
"Gus Ashfa!"
Langkahku seketika terhenti disaat mendengar suara lirih seseorang memanggilku, suara yang begitu familiar di telingaku.
"Hubby!" ku lihat istriku ternyata sudah berdiri di belakangku.
"Ponsel Gus Ashfa ketinggalan," katanya dengan menjulurkan ponselku yang dia pegang.
"Hubby! Tunggu sebentar di sini, aku panggil dokter dulu, karena dokter Aliya sepertinya butuh penanganan," kataku pada Hubby sembari berbalik meninggalkannya untuk memanggil dokter.
Setelah memanggil dokter, ku lihat Hubby sudah tidak ada di tempat itu, tempat dimana dia menyerahkan ponselku, tepatnya di koridor depan kamar dokter Aliya di rawat.
Segera aku berlari ke halaman rumah sakit untuk mencari Hubby, ku biarkan dokter Aliya karena aku tahu sudah ada dokter yang menangani.
Entah sejak kapan Hubby berada di depan kamar dokter Aliya, apa mungkin dia mendengar semua pembicaraanku dengan dokter Aliya? ataukah dia baru datang dan melihatku memeriksa serta memegang kening dokter Aliya, sungguh apa yang aku lakukan atas dasar kemanusiaan dan bukan sesuatu yang disengaja untuk menghianatinya.
Aku segera mengeluarkan mobilku dari tempat parkir, karena aku lihat Hubby sudah tidak ada di halaman rumah sakit, dan setelah mobilku keluar dari gapura rumah sakit tersebut ku lihat Hubby sudah berjalan di trotoar jalan raya.
"Tin-tin-tin-tin-tin!" aku membunyikan klakson mobilku saat sudah berada di dekatnya.
Segera aku keluar dari mobilku, dan membukakan pintu mobilku untuknya.
"Ayo masuk!" ajakku.
"Tidak usah, aku naik taxi saja!" tolaknya.
"Ayo masuk! aku antar kamu pulang!" tegasku dengan memegang lengannya agar dia masuk ke dalam mobil.
Ku lihat saat di dalam mobil Hubby hanya terdiam. Tidak ada yang dia katakan atau dia tanyakan padaku. Entah apa yang saat ini dia fikirkan tentangku dan dokter Aliya, yang pasti aku melihat sorot kesedihan di matanya.
"Sayang! dokter Aliya tadi siang pingsan dan dia juga muntah darah, semua temanku yang ada di sana mengunjungi dokter Aliya di kamarnya, dan aku juga melakukan hal yang sama," kataku pada Hubby. "Tadi aku menemaninya, memeriksanya, dan memanggilkan dokter untuknya, itu semata-mata karena rasa kemanusiaan, tidak lebih." jelasku pada Hubby.
"Iya." Hubby hanya mengangguk dengan tersenyum padaku, kemudian kembali menatap arah jalan yang ada di depannya, dan hingga sampai di depan rumah tidak sepatah katapun dia ucapkan, dia hanya terdiam seribu bahasa.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
Narrativa generaleSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...