Subuh pun menjelang, seperti biasa saat aku terjaga ku lihat Gus Ashfa sudah berada di atas sajadahnya. Suara takbir idul Fitri yang menggema di masjid dekat rumah yang ada di area pesantren membuat aku ingin segera bersiap diri untuk merayakan kemenangan menjalankan jama'ah Sunnah idul Fitri bersama keluarga.
Pagi ini setelah bersiap dengan mukenah dan sajadah aku keluar dari kamarku. Ku lihat Gus Ashfa sudah berada di ruang tengah keluarga untuk berangkat ke masjid bersama, dan dengan penuh suka cita kami pun berangkat ke masjid bersama-sama, aku dengan Gus Ashfa, Ning Azna dan Gus Ahmad, serta Ning Khilma dan Gus Azka, sedangkan Abah mertuaku sudah dari subuh tadi berada di masjid.
Pagi ini kita menjalani ibadah sholat Sunnah idul Fitri dengan hikmad, rasa bahagia begitu terasa dihatiku, aku bersyukur berada di antara keluarga yang menyayangiku, Ummi Arifah, Ning Azna, dan anggota keluarga yang lainnya, mereka begitu mencintai dan mengasihiku, hingga kasih sayang mereka mampu membuatku lupa dengan sikap dingin dan acuh Gus Ashfa padaku.
Tak lama kemudian aku, Ummi, Ning Azna, dan Ning Khilma, sudah sampai terlebih dahulu di rumah. Aku melihat Ummi sudah duduk di kursi ruang keluarga, kami semua menunggu kehadiran Abah dan para suami-suami kita untuk melakukan tradisi sungkem kepada orang tua.
Ya, setelah Abah dan kakak ipar laki-lakiku datang, kami memulai melakukan sungkem meminta maaf kepada orang tua. Dengan sebelumnya mencium tangan dan meminta maaf kepada masing-masing suami kita. Gus Ashfa dan aku sebagai anak terakhir melakukan sungkem dan meminta maaf kepada beliau semua.
Setelah sungkeman selesai, Ning Azna mempersilahkan kami untuk makan bersama, ketupat, opor ayam, dan rendang yang sudah tertata rapi di meja. Setelah makan selesai, aku lihat Gus Ahmad, dan Gus Azka berpamitan kepada Ummi dan Abah untuk mengantarkan istri-istrinya itu sowan kepada kedua orang tuanya. Sementara aku hanya terdiam, dan bingung bagaimana caranya aku untuk meminta Gus Ashfa mengantar aku pulang ke rumah orang tuaku.
Setelah membereskan dan merapikan semua hidangan di meja makan, aku masuk ke dalam kamarku, ku lihat saat itu Gus Ashfa baru keluar dari dalam toilet yang ada di kamar kami. Dia menatapku yang baru saja masuk kamar kami. Sungguh hatiku jadi tak menentu, apalagi ketika dia melangkah pelan menghampiriku.
"Aku minta maaf, aku belum bisa mencintaimu!" Katanya lirih, kata-kata lirih yang begitu menusuk jantungku.
Aku pun menguatkan diri untuk melihat tatapannya, dengan sebuah senyuman dan sebuah anggukan kalau hatiku sungguh rela dengan ungkapan perasaannya. "Iya." Sahutku.
"O iya, ayo ke rumah orang tuamu!" Ajaknya kemudian padaku.
Sesaat setelah itu, kita pun berpamitan kepada ummi Arifah untuk sowan ke rumah orang tuaku. Di dalam perjalanan dia mulai membuka pembicaraan denganku.
"Besok siang aku akan kembali ke kampusku. Mungkin aku akan jarang pulang, atau bahkan aku tidak akan pulang sampai program koasku benar-benar selesai, setelah itu aku juga masih harus mempersiapkan diri untuk ujian." Katanya, "aku pernah membahas masalah ini kan padamu?"
"Iya, tidak apa-apa" jawabku dengan anggukan dan senyuman.
"Terimakasih!" Sahutnya dengan membalas senyumku.
Sesampai di rumah ku lihat Abah dan Ummi sudah menyambut kedatangan kami. Abahku terlihat begitu menyayangi menantunya tersebut, dipeluknya pria tampan berkulit putih bersih itu, dan di persilahkannya untuk duduk di dekatnya. Ku lihat Gus Ashfa tidak banyak bicara, dia lebih sering mengangguk dan mendengarkan apa yang dibicarakan Abahku.
Sementara aku segera mengikuti Ummiku yang entah ingin menyiapkan apa di dapur kami.
"Sepi ya Ummi?" Tanyaku pada Ummi yang melihat keadaan rumahku begitu sepi, karena biasanya ramai dengan para santri.
"Iya, semua santri kan pulang nak. Adik-adikmu juga baru saja berangkat ke rumah budemu, di antar sama kang Iqbal" sahut Ummiku dengan menyebutkan nama kang Iqbal, seorang santri di pesantren ini yang sering menemani Abahku pergi. "Gimana Ashfa?" Tanya Ummiku kemudian.
"Sehat" jawabku.
"Bukan itu maksut Ummi." Sahut Ummi. "Maksut Ummi, dia sudah jatuh cinta kan padamu?" Tanyanya.
"Iya," aku mengangguk dengan senyuman ragu.
"Sudah Ummi bilang kan, setelah menikah pasti dia akan sayang padamu." Lanjutnya.
Aku hanya terdiam mendengarkan kata-kata Ummiku. Andai Ummi tahu kalau Gus Ashfa masih belum mencintaiku, pasti perasaan Ummi akan sangat terluka.
"Kapan Ummi diberi cucu nak?" Tanya Ummiku kemudian sambil menyiapkan hidangan makan siang untuk kami.
Sungguh aku terkejut dengan pertanyaan Ummiku. "Mmmmm, Gus Ashfa masih sibuk dengan program koasnya mi, koas itu program profesi untuk mendapat gelar dokter mi, setelah itu Gus Ashfa masih harus ujia, uji kompetensi... apa gitu lo mi namanya aku nggak faham, jadi dia masih sibuk. Dan selain itu aku juga masih harus menyelesaikan kuliahku, jadi aku masih belum ingin punya anak dulu." Jelasku pada Ummi.
"Looo, ya nggak papa nak, kalau kamu sibuk, biar Ummi yang rawat anak kamu." Jawab Ummiku kemudian.
"Ummi, aku masih belum siap, doain saja ya! Kalau sudah saatnya pasti Ummi punya cucu." Jawabku sambil memeluk Ummiku dari belakang.
Rasanya begitu nelangsa hatiku, dan rasanya tak tega juga aku mengungkapkan keadaan pernikahanku yang sebenarnya pada Ummi, biarlah semua perasaan ini ku simpan dalam hati sampai Allah menunjukkan jalan yang indah untuk pernikahan kami.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
Ficción GeneralSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...