Bagian 24

2.7K 117 2
                                    

Beberapa hari setelah ungkapanku kepada Gus Ashfa tentang keinginanku untuk dia lepaskan, membuat hari-hari yang aku jalani bersama Gus Ashfa terasa berbeda. Aku lebih banyak berdiam diri dan merenung, aku memilih mundur, karena aku memang sepertinya sudah tak mampu memecahkan karang es yang ada di dalam hati Gus Ashfa.

Dalam diam, terkadang aku memikirkan tentang kepribadian dokter Aliya, pantas saja jika Gus Ashfa tidak bisa melupakan kekasihnya itu, karena memang dia adalah wanita yang sangat baik, cantik, pintar, dan sangat santun tutur bahasanya. Selain itu, dia juga seorang dokter muda yang saat ini menempuh pendidikan menjadi dokter spesialis, sementara aku, hanyalah seorang sarjana keguruan, yang hanya memiliki pekerjaan sebagai guru honorer saja.

Hatiku terasa ciut memikirkannya. Aku perbanyak berdzikir agar aku tidak terlalu larut dalam suasana kepiluan, agar aku tetap bisa bersyukur meski rasanya sesak di dada. Aku yakin takdir yang tuhan pilihkan untukku, juga pasti untuk kebaikanku, untuk pendewasaanku, dan untuk penyempurnaan ibadahku, agar aku lebih dekat, dekat, dekat, dekat denganNYA.

Malam ini setelah aku melaksanakan jamaah sholat Magrib, aku mencoba menghubungi orang tuaku, aku ingin mengetahui bagaimana kabar Abahku paska beliau jatuh dari kamar mandi waktu itu.

"Assalamualaikum Ummi!" Sapaku pada Ummiku saat menelponnya. "Bagaimana kabar Abah?" Tanyaku.

"Alhamdulillah Hubby! tangannya sudah mulai bisa digerakkan setelah ditherapy oleh dokter yang direkomendasikan Ashfa" jawab Ummiku, "kata dokter emosi Abah harus selalu di jaga, pikirannya harus selalu tenang, agar tekanan darahnya tetap stabil." Lanjutnya. "Kata Abahmu, dia sangat bahagia melihat suamimu begitu perhatian padanya, Ummi sangat bersyukur nak! kamu punya suami yang sangat baik, begitu menyayangi kamu dan keluarga kita." Kata Ummiku.

Sesaat setelah menutup telepon dari Ummiku, aku kembali berfikir, Abahku harus selalu di jaga kestabilan emosinya, dan Ummiku terlihat begitu bahagia dengan perhatian Gus Ashfa. Hatiku mulai merasa cemas, bagaimana jika dalam waktu dekat ini Gus Ashfa benar-benar melepaskanku, apalagi dia tahu perkembangan kesehatan Abahku yang mulai membaik, jika itu sampai terjadi, bagaimana kemudian kesehata Abahku, bagaimana dengan tekanan darahnya, sungguh aku tidak sanggup memikirkannya.

"Kreeek!" Suara Gus Ashfa membuka pintu seketika membuyarkan lamunanku. Aku yang saat itu berdiri di depan cendela kamarku yang masih terbuka segera melangkah menghampirinya, kucium tangan kanannya seperti biasa, dan ku bawakan tas kerjanya.

Aku melihat Gus Ashfa sering memperhatikanku setelah kejadian bebera malam yang lalu, aku memang jarang menyapanya setelah kejadian itu, atau menawarkan sesuatu apapun padanya.

"Aku mau mandi, siapkan air hangat untukku ya!" Pinta Gus Ashfa, dia memulai menyapaku terlebih dahulu.

"Iya!" Aku mengangguk dan segera menyiapkan air hangat untuknya.

Ku tinggalkan dia yang saat itu hendak masuk kamar mandi, aku siapkan makan malam untuknya, karena biasanya setelah mandi dan sholat isyak dia makan malam dan kemudian berpamitan ke klinik pesantren.

Malam ini, aku tidak menemaninya makan, aku biarkan dia sendirian di ruang makan, karena semua keluarga pun telah selesai makan malam. Aku masuk ke dalam kamarku, aku rebahkan tubuhku di ranjang dan menarik selimutku, aku merasa lelah hingga ingin memejamkan mata agar rasa lelahku ini sirnah.

Ku dengar "kreek!" Gus Ashfa kembali membuka pintu.

"Kamu sakit?" Tanyanya padaku kemudian, dengan menghampiri, dan menyentuh lenganku dari atas selimut. "Aku periksa ya! Badanmu sedikit hangat!" Katanya saat memegang dahiku.

"Tidak usah!" Sahutku sembari bangkit dari tidurku. "Gus Ashfa! Aku minta waktu! Tolong jangan ceraikan aku dulu sebelum Abahku benar-benar sembuh ya!" Kecemasanku tentang kesehatan Abah membuat aku mengatakan hal itu pada Gus Ashfa, mungkin aku telah merendahkan harga diriku di depannya, namun bagiku kesehatan Abahku jauh lebih penting di bandingkan dengan hanya mengikuti keegoisanku saja. "Aku mohon!" Pintaku dengan mengatupkan kedua tanganku.

Gus Ashfa hanya memandang wajahku dengan datar, dia mendekatiku, dan kemudian duduk di hadapanku.

"Aku tidak pernah berfikir untuk menceraikanmu." Katanya dengan menyentuh pipiku. "Jangan berfikir macam-macam!" Lanjutnya. "Istirahatlah! Aku ke klinik dulu!" Pamitnya kemudian.

Aku begitu heran dengan sikap Gus Ashfa padaku, sebenarnya seperti apa perasaannya untukku, sebenarnya seperti apa aku di matanya. Terkadang dia begitu perhatian dan lembut, namun terkadang dia begitu angkuh dan dingin, sungguh sikapnya begitu sulit aku fahami.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang