Beberapa hari ini aku disibukkan dengan tugas di lembaga pendidikan tempatku mengajar, terkait dengan rencana pengasuh pesantren untuk memperbaiki mutu pendidikan di lembaga kami.
Bukan hanya sarana dan prasarana yang hendak ditambah dan dibenahi. SDM-nya pun menjadi perhatian utama sebagai faktor utama untuk lebih memajukan pendidikan di pesantren ini.
Rencananya para guru akan melakukan rapat kerja bersama Gus Firja selama dua pekan ke depan. Karena aku adalah anggota keluarga ndalem atau keluarga pesantren, dan berdomisili di area pesantren. Jadi, Gus Ahmad menunjukku untuk menjadi panitia dalam kegiatan tersebut.
*****
Karena program kerja ini, pertemuanku dengan Gus Firja lebih intens. Sungguh tak ada niat di hati untuk berpaling dari Gus Ashfa.
Aku bekerja dengan sungguh-sungguh, semata-mata untuk memajukan pendidikan di pesantren mertuaku ini. Selain itu karena aku ingin mengisi waktu luang agar lebih bermanfaat, apalagi suamiku juga teramat sibuk, dan jarang sekali ada di rumah untuk menemaniku.
Beberapa hari ini setiap malam Gus Ashfa selalu melihatku sibuk di depan laptop. Pekerjaanku membenahi kurikulum sekolah, serta membuat program-program sekolah membuat aku harus lebih fokus dalam bekerja.
Jujur beberapa hari ini aku juga jarang sekali memperhatikan Gus Ashfa. Mungkin hanya menyiapkan handuk dan baju gantinya, serta menyiapkan makan malam dan sarapannya, tanpa berbasa-basi atau pun menyapa dia seperti biasanya.
Selain itu, aku juga lebih sering terlihat berkonsentrasi dengan tugas-tugas lembaga, dan sering berangkat lebih pagi sebelum Gus Ashfa berangkat.
Namun meski demikian aku tetap tidak meninggalkan kewajiban sebagai seorang istri. Aku selalu menyiapkan semua keperluan Gus Ashfa sebelum aku pergi meninggalkannya menjalankan tugas di lembaga pendidikan pesantren miliknya itu.
****
Malam ini saat Gus Ashfa baru pulang dari klinik pesantren.
"Masih belum tidur, Hubbi?" tanya laki-laki itu saat melihat aku masih sibuk di depan laptop.
"Belum," aku meliriknya dengan tersenyum, dan kembali fokus dengan pekerjaanku.
Perlahan Gus Ashfa mendekat ke arah meja kerjaku, dia melirik pekerjaan yang sedang aku ketik.
"Tidak bisa diteruskan besok?" tanyanya.
"Hmmm...." Aku menggumam sembari menggelengkan kepala.
Kulihat setelah itu Gus Ashfa mengganti kemejanya dengan piyama.
"Aku mau kopi Hubbi!" katanya kemudian.
Aku menoleh dan mengangguk, seraya bergegas keluar dari kamar, membuatkan laki-laki itu kopi.
"Ini kopinya Gus!" kataku dengan meletakkan secangkir kopi di atas meja lampu tidur kamar kami.
Gus Ashfa yang saat itu duduk di tepi ranjang entah membaca apa, tampak menatapku dengan sorot mata tajam.
Aku tersenyum kecil, namun aku lihat dia tidak membalas senyumku.
"Aku mau melanjutkan pekerjaanku ya, Gus!" pamitku kemudian padanya.
"Hmmmh!"
Laki-laki itu membuang napas keras tanpa menjawabku.
Sebenarnya aku merasa tidak nyaman dengan sikap Gus Ashfa. Tapi sudahlah, tidak penting juga aku memikirkan keangkuhannya. Bukankah dia memang seperti itu padaku. Angkuh, sombong, dingin, dan acuh padaku.
Akhirnya aku putuskan untuk mengabaikan sikapnya, dan kembali fokus mengerjakan tugasku.
Beberapa menit kemudian handphoneku berdering. Ternyata Gus Firja yang menelepon, dia menanyakan tentang kesiapan kurikulum yang sedang aku benahi untuk evaluasi raker besok pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
General FictionSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...