Bagian 21

2.7K 107 2
                                    

Kini Gus Ashfa sudah kembali ke rumah, dia sudah mulai bekerja di rumah sakit umum yang ada di kotaku, sementara aku di beri amanah oleh mertuaku untuk membantu mengajar bahasa Arab di lembaga pendidikan menengah pertama yang ada di pesantren ini.

Aku kerjakan amanah tersebut dengan baik, sehari-hari aku sibukkan diruku mengabdi di sekolah itu, karena Gus Ashfa pun selalu sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit, piket pagi, piket malam, serta jam praktek di klinik pesantren yang terkadang juga ramai dengan pasien.

Tak ada yang berubah dari sikap Gus Ashfa padaku, sikapnya tetap dingin dan beku, sekalipun dia tak pernah meninggalkan kewajibannya untuk menafkahiku. Selama ini, semenjak dia sudah berpenghasilan sendiri, semua penghasilannya tersebut dia berikan padaku tanpa aku minta, andai dia menyisihkan sebagian untuk di tabung, dia pun mengatakannya padaku.

Dalam beberapa hal dia adalah pria yang baik dan bertanggung jawab, santun, lembut, dan penuh kasih. Hanya satu hal kekurangannya, dia masih terbelenggu dengan bayang-bayang cinta masa lalunya, hingga hatinya seolah tertutup untuk melihat ketulusan dari orang yang ada di sekelilingnya, andaikan saja dia mau membuka hatinya untukku, mungkin hidup kami akan menjadi lebih sempurna.

Ya Allah, sungguh sebenarnya sejak dari waktu itu aku telah menyimpan rasa untuknya, sekalipun sikap dingin yang seolah tertutup gurun salju selalu aku terima darinya. Dia adalah pria pertama yang pernah hadir dalam hidupku, dia adalah pria pertama yang telah mengisi cerita di relung hatiku.

Tak terasa, sudah lima tahun usia pernikahanku dengannya, dua tahun Gus Ashfa meninggalkanku dalam pendidikannya, dan tiga tahun ini kita hidup bersama, hidup bersama menjalani drama sebuah pernikahan.

Hati Gus Ashfa masih beku, bahkan bagai gunung es yang diselimuti oleh kabut dan salju, sungguh aku tetap berharap bisa meruntuhkan gunung itu, mencairkannya hingga meleleh dan menjadi hangat seperti halnya kopi susu.

Aku biarkan sikap Gus Ashfa yang seperti itu, aku hanya bisa menyebutnya agar dia berubah lebih baik dalam doaku.

Pagi ini saat aku berada di kantor sekolah tempatku mengajar, aku di ajak oleh seorang guru BK (Bimbingan Konseling) untuk menemaninya menghadiri Workshop "Pengaruh kesehatan mental pada anak Remaja Awal terhadap Pengembangan karakter".

"Ning Hubby ada jam mengajar?" Tanyanya padaku.

"Tidak ada ustadzah, anak-anak kan masih classmeeting tengah semester." Jawabku, karena pada saat itu memang jadwalnya kegiatan tengah semester di sekolahku.

"Temani saya ya ning! Sayang tiketnya workshopnya, soalnya sekolah kemarin sudah membayar untuk dua orang." Kata teman sejawatku yang seorang guru BK. "Sebenarnya yang di daftarin kemarin saya dan ustadzah Zahra, tapi beliaunya sakit Ning, jadi Ning Hubby aja ya, yang menggantikan ustadzah Zahra!" Rayunya.

"Iya sudah ustadzah tidak apa-apa." Jawabku menyetujui ajakan teman sejawatku. Karena sepertinya tidak ada salahnya, jika aku menghadiri Workshop itu untuk menambah ilmu baru.

Aku pun ikut dengannya di sebuah gedung yang ada di area kampus negri di kotaku, jaraknya cukup jauh juga dari tempatku mengajar, sekitar 30 menit dalam perjalanan.

Aku mulai konsentrasi untuk mendengarkan nara sumber yang akan memberikan ilmu baru padaku.

"Pembicaranya keren lo Ning, pakar pendidikan, psikolog, dan psikiater." Katanya. "Aku pernah ikut beberapa kali workshop mereka, keren banget!" Puji temanku.

Ku dengarkan dengan seksama sebuah penjelasan dari tiga orang Nara sumber yang memberikan pengarahan pada kami. Sebuah pengarahan yang memang sangat luar biasa, yang di ikuti oleh kurang lebih dua ratus peserta, dan yang membuatku kagum lagi adalah penjelasan dari seorang wanita muda, yang begitu memahami tentang materi workshop dan memberikan solusi kebaikan di setiap masalah kesehatan mental yang terjadi pada seorang remaja.

"Ustadzah itu yang pakai blazer abu-abu muda? Psikolog atau psikiater  ya?" Tanyaku pada ustadzah Mar'ah. Aku begitu penasaran pada wanita muda cantik  dan pintar itu, karena jujur tadi ketika di awal acara aku tidak begitu fokus saat mereka semua membacakan curriculum vitaenya.

"Saya kurang tau Ning, sepertinya dia penggatinya psikiater yang tidak bisa hadir."

Ku lihat setelah itu ustadzah Mar'ah menghampiri ketiga Nara sumber yang ada di depan untuk berdiskusi tentang materi yang belum dia fahami, dan setelah lima belas menit kemudian dia kembali ke kursinya yang ada di sebelahku.

"Iya Ning benar, dia penggantinya dr.Mevie psikiater yang tidak bisa hadir di acara ini," kata ustadzah Mar'ah. "Namanya dr.Aliya, baru pindah di kota ini Ning, dan baru dinas di rumah sakit umum kota ini," lanjutnya kemudian.

Keterangan ustadzah Mar'ah seketika mengejutkanku. "dr. Aliya" aku jadi teringat mantan kekasih Gus Ashfa, seorang wanita yang terpaksa harus dia tinggalkan untuk menikah denganku demi mematuhi perintah orang tuanya.

Ku pandangi wajah hijaber yang begitu cantik dan elegan itu. Ya Allah apakah mungkin dia dr. Aliya kekasih Gus Ashfa? Hatiku penuh tanda tanya, sekalipun yang aku dengar dr. Aliya tidak berhijab, tapi bisa jadi seiring dengan berjalannya waktu dia telah berhijrah.

"Cantik banget ya Ning dr. Aliya? Udah cantik, pinter lagi, " puji temanku dengan memandangi dokter muda yang sesekali menghampiri para audiens yang bertanya tentang materi workshop padanya itu. "O iya, rumah sakit swasta yang baru di bangun dekat jalan double W sana ternyata milik keluarga dr. Aliya lo Ning." Kata ustadzah Mar'ah lagi. "Luar biasa ya Ning, udah cantik, pintar, kaya lagi, suaminya juga pasti ganteng," ucap temanku itu penuh kekaguman.

"Memangnya sudah menikah ya ustadzah?" Tanyaku spontan pada ustadzah Mar'ah saat mendengar pujian terakhir untuk dr Aliya suaminya pasti ganteng.

"Katanya sih belum Ning, masih lajang, dia masih sibuk menyelesaikan program S2 nya, masih kurang satu tahun katanya. Mungkin karena itu ya Ning, jadi belum menikah, sibuk belajar, belajar, belajar, dan belajar."

Jawaban ustadzah Mar'ah benar-benar mengganggu pikiranku. Meski aku tidak tahu apakah dr. Aliya yang aku lihat itu adalah mantan kekasih Gus Ashfa namun sungguh kehadiranya sangat mengusik ketenanganku, dan jujur aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Tiga puluh menit kemudian acara itu pun selesai, semua peserta workshop berhamburan keluar ruangan, ku lihat dr. Aliya yang tengah berjalan melewatiku, dia adalah wanita yang sangat cantik, ya Allah begitu ciut hatiku jika dia adalah benar-benar mantan kekasih Gus Ashfa yang hingga saat ini masih belum bisa dia lupa.

Setelah sampai di rumah segera aku buku laptopku, ku buka akun Facebook dan Instagram Gus Ashfa, ku lihat gambar-gambar yang ada di sana, kalau-kalau aku temukan gambar dr. Aliya, namun tidak aku temukan gambar apapun di sana.

Aku terdiam, aku masih berfikir dan penasaran tentang siapakah dr. Aliya itu. Karena masih penasaran akhirnya aku mencoba mencari akun Facebook dr. Aliya, aku mencoba meminta pertemanan padanya, dan beberapa menit kemudian, dia pun mengkonfirmasi permintaanku, ku lihat gambar-gambar yang ada di berandanya. Aku pun tidak menemukan petunjuk kalau dia adalan mantan kekasih suamiku, selain itu dia juga tidak berteman dengan suamiku di semua akun media sosial yang dia punya.

Aku sedikit bisa bernafas lega, mungkin dr. Aliya yang ini memang bukan wanita yang pernah singgah di hati suamiku, karena memang terlalu banyak nama Aliya yang berprofesi sebagai dokter di dunia ini.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang