Satu bulan telah berlalu, namun hubunganku dengan Gus Ashfa masih tetap seperti itu, entah kapan drama pernikahanku yang seperti ini akan berakhir. Sungguh aku merasa lelah, namun aku tak mampu berbuat apa-apa, selain Abahku yang saat ini baru pulih dari sakitnya, Ummiku yang juga selalu berfikir bahwa Gus Ashfa teramat mencintaiku.
Saat ini biarlah aku ikuti pemikiran mereka, agar semua itu menjelma menjadi sebuah doa, karena aku pun sudah lelah untuk memikirkannya, aku pasrahkan takdir ini kepadaNYA, dan biarlah semua berjalan apa adanya.
Hari ini adalah hari libur, aku berniat untuk pergi ke rumah sahabatku waktu di pesantren dulu, saat aku menempuh pendidikan Aliyah beberapa tahun yang lalu.
"Gus! Apa boleh aku menghadiri undangan reuni sekolah Aliyahku di rumah Hilda?!" Pamitku pada Gus Ashfa yang saat itu hendak berangkat ke klinik pesantren.
"Di mana rumahnya?"
"Di jalan Manggis 15." Ku sebutkan alamat rumah Hilda yang jaraknya tidak begitu jauh dari pesantren ini.
"Sampai jam berapa di sana?" Tanyanya kemudian.
"Mmmm, kurang tau Gus, mungkin sampai sore, tidak apa-apa kan?" Tanyaku.
"Iya, hati-hati! Kalau nanti sudah selesai, hubungi aku! Nanti akan aku jemput!" Katanya.
Kebetulan hari ini adalah hari libur, Gus Ashfa hanya punya jadwal mengurus klinik di pesantren saja, jadi mungkin dia memiliki waktu untuk menjemputku.
"Aku minta maaf tidak bisa mengantarmu, karena aku ada janji pagi ini dengan pasien!" Katanya kemudian.
"Iya tidak apa-apa. Aku minta antar mbak-mbak santri sama kang Mustofa saja." Sahutku dengan menyebut nama kang Mustofa, salah seorang abdi ndalem yang biasa mengantar keluarga ini saat ada kepentingan keluar rumah.
Setelah mendapatkan ijin dari Gus Ashfa aku pun bersiap untuk berangkat ke rumah temanku.
Acara reuni sekolahku berjalan sangat menyenangkan, aku bahagia bertemu dengan kawan-kawan lamaku, mengenang masa-masa indah belajar agama di saat kita nyantri bersama. Apalagi saat sahabat dekatku waktu di pesantren juga datang di acara ini.
Dia adalah Ning Shafa, keponakan Bu Nyai Sharoh pengasuh pesantren putri tempatku dulu belajar. Ning Shafa adalah sahabat terbaikku, hari ini dia datang dengan membawa cerita-cerita lucu untukku, tentang kenangan kita saat nyantri dulu.
"Hubby! Ingat Gus Firja tidak?" Tanyanya padaku.
"Yang mana Ning? Aku lupa." Jawabku.
"Putranya Bu nyai Sharoh." Kata Ning Shafa. "Kemarin saat pernikahan adiknya, aku kan sowan ke rumah beliau, dia titip salam buat kamu, dia kira kamu belum menikah." Kata Ning Shafa padaku.
"MasyaAllah! Masak sih Ning?"
"Iya, bener! Dia kan memang naksir banget sama kamu, ingat nggak! Dulu dia kan sering banget nitip surat buat kamu, tapi sering lupa nggak aku kasihkan." Cerita Ning Shafa kemudian dengan tertawa geli, mengingat masa remaja kami.
Gus Firja adalah sepupu Ning Shafa, putra Kiayi ku waktu aku belajar di pesantren dulu. Saat aku masih di bangku Aliyah pria itu memang sering mengirim surat untukku, namun tidak pernah aku hiraukan, selain karena aku tidak pernah kenal orangnya, aku juga berfikir berpacaran adalah sebuah perbuatan dosa, meski itu hanya pacaran lewat surat saja.
"O iya Hubby, waktu kemarin aku bersih-bersih gudang buku, aku nemuin surat-surat yang Gus Firja kirim buat kamu, yang lupa belum aku kasihkan ke kamu, ini lihat!" Kata Ning Shafa dengan menunjukkan beberapa amplop yang sudah usang padaku. "Ada yang dimakan rayap juga!" Lanjutnya. "Sengaja aku bawa, buat lucu-lucuan aja!" Kata Ning Shafa dengan tertawa.
Sebenarnya saat aku masuk pesantren sudah ada telpon seluler yang memiliki banyak tombol di atasnya, namun karena pelajar di pesantren tidak boleh membawa ponsel, akhirnya bnyak juga para santri yang saling kirim mengirim surat untuk mengungkapkan perasaannya pada seseorang yang cinta. Sungguh mengingat masa remajaku itu membuat aku bahagia.
Waktu begitu cepat berlalu, karena hari sudah menjelang sore, kita pun segera mengakhiri acara, semua teman-teman aliyahku yang hadir di rumah Hilda mulai berpamitan undur diri, begitu juga dengan Ning Shafa sahabat dekatku, dengan peluk masih dipenuhi rasa rindu dia berpamitan padaku.
"Main-main ke rumah ya Hubby!" Katanya.
"InsyaAllah! Kalau rumah Ning Shafa dekat pasti aku akan sering ke sana." Jawabku dengan menggoda wanita yang rumahnya sekitar 4 jam dari tempat tinggalku itu.
Setelah semua teman-temanku pulang, aku pun berpamitan pulang pada Hilda, karena aku lihat mobil Gus Ashfa pun sudah datang untuk menjemputku.
"Bagaimana reuninya?" Tanya Gus Ashfa saat aku masuk ke dalam mobilnya.
"Alhamdulillah lancar!" Sahutku.
Terlihat Gus Ashfa mulai melajukan mobilnya, seperti biasa tak ada yang kita bicarakan saat di dalam mobil, Gus Ashfa lebih sering berkonsentrasi menatap ke depan dengan bibir tertutup rapat saat kita berduaan. Untuk mengurangi kejenuhanku, ku coba membuka surat-surat yang diberikan Ning Shafa tadi untukku. Surat-surat dengan amplop yang sudah terlihat usang. Aku buka amplop itu, dan aku mulai membacanya, membaca kata-kata romantis nan lucu yang dituliskan oleh seorang anak remaja di zamanku.
Tak terasa mulutku mulai mengeluarkan tawa, tersenyum, dan termenung, surat dari sepupu Ning Shafa membuat fikiranku berkata, ternyata aku pernah menjadi wanita yang sangat di puja dan dikagumi oleh seorang pria, padahal sebelumnya aku berfikir tak ada pria selain ayah dan saudara laki-lakiku yang mencintai diriku.
"Apa itu?" Tanya Gus Ashfa padaku kemudian.
"Ini surat dari Gus Firja." Kataku pada Gus Ashfa.
"Gus Firja?" Tanyanya dengan mengerutkan dahi.
"Iya, dulu waktu aku mondok di pesantren milik keluarga Gus Firja, Gus Firja sering titip surat ke Ning Shafa buat aku. Ning Shafa sering lupa nggak ngasihkan surat itu Gus. Akhirnya waktu Ning Shafa bersih-bersih lemari bukunya, dia nemuin surat-surat ini, dan kebetulan ada reuni, jadi dia bawa, dia kasihkan ke aku, surat ini amanah yang tertunda katanya." Terangku dengan geliat tawa pada Gus Ashfa. "Gus Firja itu putranya Kiayi Abdullah pengasuh pondok pesantren Nurul Falah, Gus Ashfa tau kan?" Tanyaku.
Gus Ashfa memandangku dengan sorot matanya yang dingin. Dia terdiam dan tidak menjawab atau pun berkomentar apapun, sepertinya Gus Ashfa tidak menyukai geliat tawa dan pertanyaanku. Aku segera menunduk saat melihatnya. Aku berfikir apakah Gus Ashfa cemburu? Ah tidak! Gus Ashfa tidak pernah menyukaiku, jadi mana mungkin dia akan cemburu, mungkin sekalipun ada pria tampan di depan matanya yang mengatakan cinta padaku, dia tidak akan mempermasalahkannya.
Setelah sampai di depan rumah, ku lihat Gus Ashfa masih diam saja. Dia masuk ke dalam rumah sendiri tanpa menungguku yang masih membuka pintu mobil. Hatiku penuh tanda tanya, apakah Gus Ashfa marah padaku, ah rasanya itu hanya pikiranku saja, karena memang sikap Gus Ashfa selama ini acuh, dan tidak perduli padaku.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
General FictionSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...